Rabu 04 Dec 2013 05:35 WIB
KTM WTO

SBY: Tata Ulang Perdagangan Global

Para aktivis berunjuk rasa memprotes pertemuan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Denpasar, Bali, Selasa (3/12).   (AP/ Firdia Lisnawati)
Para aktivis berunjuk rasa memprotes pertemuan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Denpasar, Bali, Selasa (3/12). (AP/ Firdia Lisnawati)

REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi membuka Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Negara-Negara Anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-9 di Bali, Selasa (3/12). Dalam sambutannya, SBY mengajak para anggota WTO untuk menciptakan sistem perdagangan multilateral yang lebih mudah, adil, dan terbuka.

“Perdagangan global perlu ditata ulang. Kita tunjukkan pada dunia bahwa kita mampu menata ulang perdagangan global. Kita punya kesempatan untuk mengupayakan kemudahan bagi perdagangan dunia yang lebih mudah, adil, serta terbuka,” kata Presiden.

SBY mengharapkan, pertemuan di Bali bisa menghasilkan kesepakatan bersama sebagai kelanjutan dari kesepakatan bersejarah di Jenewa, Swiss, yang menghasilkan Agenda Pembangunan Doha (DDA). Presiden SBY juga mengingatkan semua negara anggota WTO bahwa telah ada kesepakatan untuk melakukan reformasi perdagangan global yang bertujuan membuka pasar bagi negara-negara kurang berkembang.

“Karena itu, saya berharap pada Anda semua untuk membuat progress yang nyata dalam pertemuan di Bali ini,” katanya.  KTM Ke-9 WTO di Bali, kata Presiden, merupakan kesempatan emas untuk membuat langkah besar menuju kesimpulan putaran Doha. Ia meminta agar pertemuan tersebut dimanfaatkan untuk menyatukan perbedaan dan menyepakati aturan perdagangan yang baru.

Kepala Negara menegaskan, pertemuan Bali hanya akan membuahkan hasil, hanya bila seluruh delegasi tidak memandang yang lain sebagai kompetitor, melainkan mitra. Negara-negara utara (negara maju), kata SBY, merupakan mitra dari negara-negara selatan (negara berkembang) dalam membangun perekonomian dunia yang lebih adil dan inklusif. Tujuan tak lain untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan.

Dengan dasar pemikiran ini, SBY menyerukan agar negara-negara anggota WTO menolak gagasan pendekatan utara melawan selatan yang sering kali diserukan. “Kita seharusnya menolak gagasan utara melawan selatan, sebuah terminologi yang membesarkan perbedaan dibandingkan saling mengisi di antara kita. Kita harus saling memandang sebagai mitra,” kata SBY. Presiden mengatakan, kedua kubu, baik utara maupun selatan, saling membutuhkan dalam perdagangan.

Presiden mencatat, selama 30 tahun terakhir, negara berkembang telah menjadi pendorong utama dalam pertumbuhan perdagangan. Negara berkembang kini telah mencapai setengah dari total perdagangan dunia, dari sebelumnya 34 persen pada 1980. Pada bagian lain, Presiden mengharapkan, agar KTM WTO ke-9 dapat menghasilkan suatu kesepakataan yang dapat mendorong kembali kepercayaan terhadap sistem perdagangan internasional setelah mandeknya kesepakatan putaran Doha.

KTM WTO ke-9 yang dihadiri oleh delegasi dari 159 negara anggota WTO akan berlangsung pada 3-8 Desember 2013. Dalam konferensi tersebut, Menteri Perdagangan Indonesia Gita Wirjawan menjadi ketua dan didampingi oleh tiga wakil ketua, yaitu Menteri Perdagangan dan Investasi Inggris Stephen Green, Menteri Perdagangan dan Perindustrian Rwanda Francois Kanimba, dan Menteri Perdagangan dan Pariwisata Peru Magali Silva Velarde Alvarez.

Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo mengatakan, selain enam anggota baru yang bergabung dengan WTO, Republik Yaman juga ikut hadir dalam KTM WTO ke-9. Menurut Roberto, masa depan WTO dipertaruhkan di Bali. WTO harus bisa menyelesaikan masalah-masalah yang tersisa di Doha.

Saat di Doha, kata Roberto, masalahnya sudah hampir selesai dan WTO hampir menemukan jalan keluar. Akan tetapi, kesepakatan akhirnya gagal dicapai. Begitu pun dengan pertemuan di Jenewa. Kali ini, kata Roberto, peluang untuk mencapai kesepakatan antara negara-negara anggota WTO terbuka lagi. “Kita semua berharap penyelesaian Doha dapat kita tuntaskan di Bali,” katanya.

Dari 10 paket  yang disusun di Jenewa, menurut Roberto, negara berkembang mendapatkan manfaat paling besar. Dari keseluruhan paket kesepakatan perdagangan juga tidak ada pertentangan antara negara maju dan berkembang sehingga penyelesaiannya tinggal menunggu kesepakatan. Hanya, berita buruknya adalah teks-teks kesepakatan belum seluruhnya ditandatangani.

“Kita gagal di Jenewa, padahal sudah dekat sekali. Kalau gagal lagi di Bali, kita akan mengecewakan pebisnis di dunia, orang miskin, para petani, dan negara-negara berkembang secara keseluruhan. Tiga hari ke depan, ini adalah jawaban kita mau kompromi atau tidak,” kata Roberto. n ahmad baraas/esthi maharani /antara ed: eh ismail

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement