Jumat 23 Aug 2013 08:39 WIB
Arab Spring

Karut-marut Politik Arab

Pendukung Ikhwanul Muslimin menggelar aksi demontrasi menentang rezim militer di Tahrir Square, Kairo, Mesir..
Foto: AP/Bernat Armangue
Pendukung Ikhwanul Muslimin menggelar aksi demontrasi menentang rezim militer di Tahrir Square, Kairo, Mesir..

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Teguh Firmansyah

Konflik internal Mesir membuka ruang pertikaian baru dalam politik di jazirah Arab dan kawasan sekitar. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait secara tegas mendukung kudeta presiden Muhammad Mursi oleh militer. Sikap mereka pun tak berubah pascatragedi berdarah pembubaran paksa demonstran pro-Mursi oleh militer yang menyebabkan lebih dari 1.000 orang tewas.

Bahkan, Arab Saudi dan sekutu utamanya itu berjanji akan memberikan bantuan sebesar 12 miliar dolar AS seandainya Barat mencabut dukungannya. Angka itu delapan kali lebih besar dari bantuan rutin AS ke Negara Piramida itu setiap tahun, yakni mencapai 1,5 miliar dolar AS.

“Kepada mereka yang telah mengumumkan akan menghentikan bantuannya kepada Mesir atau mengancam bertindak itu, (kami menyatakan), Arab dan negara Muslim kaya … dan tidak akan ragu untuk membantu Mesir,” ujar Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Saud al-Faisal.

Berbeda dengan ketiganya, Turki dan Tunisia mengecam kudeta militer di Mesir. Qatar, meski bersikap lebih halus, cenderung mendukung pemerintahan Mursi dan menolak militer. Sedangkan, Iran, seperti dikutip the Washington Post, juga mengecam kudeta militer di Mesir dan mendukung Mursi.  

Peta politik di Mesir tentu berbeda jauh dengan sikap negara-negara Arab dalam konflik di Suriah. Dalam kasus di Suriah, Kuwait, Qatar, Arab Saudi, Turki, dan Uni Emirat Arab bahu-membahu mendorong oposisi Presiden Bashar al-Assad.

Pemerintah Mesir di bawah Mursi pun turut membantu oposisi bersama negara Arab lain. Hanya Iran yang secara tegas mendukung pemerintahan Assad. Irak dan Lebanon pun menilai intervensi ke Suriah bukanlah solusi. Harus diakui konflik Suriah dan Mesir memiliki akar berbeda. Masalah Suriah cenderung berbau sektarian. Negara penentang Assad menganut Islam Suni sedangkan yang mendukung berasal dari Syiah. Assad sendiri merupakan seorang Alawite Syiah. 

Di Mesir, pertentangan lebih didasarkan pada pro-Ikhwanul Muslimin dan anti-Ikhwanul Muslimin. Lalu, mengapa Arab Saudi lebih anti-Ikhwan? Menurut Roger Hardy, penulis The Muslim Revolt: A Journey through Political Islam, selama beberapa dekade, Kerajaan Arab Saudi telah menggelontorkan dolarnya dari kekayaan minyak untuk membantu Ikhwanul Muslimin dan sejumlah kelompok Islam lain di seluruh dunia.

Namun, beberapa tahun terakhir, Saudi melihat kelompok-kelompok Islam ini lebih sebagai ancaman dibandingkan teman. Rasa paranoid itu semakin menjadi-jadi setelah sekutu mereka di Mesir, Presiden Husni Mubarak, digulingkan pada 2011. Jatuhnya Mubarak membawa Ikhwanul Muslimin ke puncak tampuk kekuasaan.

Mereka juga melihat Tunisia, negara di Afrika Utara yang tak jauh dari Timur Tengah, jatuh ke tangan kelompok Islam. Ada kekhawatiran di Pemerintahan Arab Saudi, termasuk Kuwait dan UEA, kelompok-kelompok itu bisa merebut kekuasaan dari mereka sewaktu-waktu. Dengan alasan itu, kata dia, jangan kaget jika Arab Saudi maupun UEA rajin menangkapi anggota Ikhwanul Muslimin maupun kelompok Islam di negara masing-masing.

Hal senada juga diungkapkan oleh Gamal Soltan. “Ini bukan tentang ekspansionisme (Arab Saudi),” ujar profesor ilmu politik di Universitas Amerika di Kairo, Mesir. “Saudi melakukan ini lebih dilandaskan rasa takut dibandingkan keserakahan.”

Langkah Kerajaan Arab Saudi menunjukkan sikap konfrontasi langsungnya kepada Ikhwanul Muslimin. Penggunaan kata teroris oleh raja Saudi bagi mereka yang membuat kerusuhan di Mesir seolah menyindir Ikhwanul Muslimin. 

Menurut Christoper Davidson, profesor sejarah Timur Tengah di Universitas Durham, Inggris, keputusan mendukung militer merupakan pertaruhan besar bagi raja Saudi.  “Arab Saudi menempatkan posisi melakukan konfrontasi langsung dengan Ikhwanul Muslimin yang mendapatkan simpati luas di kawasan.”

Seorang aktivis Arab Saudi, seperti dikutip Washington Times mengatakan, pemerintahannya menggelontorkan satu miliar dolar AS untuk memuluskan kudeta presiden Mursi dan membuat pemerintahan baru. Jika laporan ini benar, semakin membenarkan kekhawatiran Arab Saudi terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin.

Sulitnya bersatu

Arab Spring yang dimulai di Tunisia pada 2010 telah membuka babak baru dalam perpolitikan di kawasan Arab. Satu per satu rezim otoriter tumbang, mulai dari rezim Ben Ali (Tunisia), Muamar Khadafi di Libya, sampai dengan Husni Mubarak di Mesir. Satu rezim yang masih cukup kuat, yakni Presiden Bashar al-Assad di Suriah.

Namun, Arab Spring, pada kenyataannya, telah memunculkan perbedaan di antara negara-negara Liga Arab yang mayoritas penduduknya Islam. Selain dalam persoalan di Mesir dan Suriah, menurut Aljazirah, salah satu perbedaan mencolok, yakni dalam menyikap krisis di Libya. Qatar dan UEA ketika itu mendukung intervensi militer, tapi Aljazair menolak rencana itu.

Dalam krisis politik di Bahrain, negara-negara Arab juga memiliki pandangan yang berbeda. Beberapa negara GCC (Teluk) mendukung pengiriman tentara untuk menyokong pemerintah, sementara Irak mengkritik keinginan itu. 

Jika melihat peta politik kawasan ini, setidaknya ada tiga isu utama yang membuat negara-negara Islam di jazirah Arab sulit bersatu. Pertama, yakni soal sikap memandang demokrasi. Konsekuensi logis dari Arab Spring adalah munculnya demokrasi.

Dalam sistem demokrasi, kewenangan untuk memilih pemimpin berada di tangan rakyat. Sistem ini tentunya bisa membahayakan pemerintahan yang sudah berkuasa cukup lama, seperti Dinasti Saud di Arab Saudi. Mereka yang terancam dengan demokrasi lalu membangun blok sendiri.

Kedua, yakni perbedaan sikap politik luar negeri. Perbedaan pandangan politik luar negeri terhadap isu-isu tertentu, misalnya, masalah Palestina, membuat persatuan di antara negara di jazirah Arab terhambat.

Ketiga, yang juga sangat penting, masalah pandangan ideologis. Konflik Suni-Syiah kerap membayangi perdamaian di kawasan Arab. Seperti, konflik yang terjadi di Suriah dan Irak. Belum lagi, munculnya pemahaman-pemahaman radikal baru yang muncul akibat gerakan ekspansi kebijakan luar negeri AS.

Muncullah kelompok Alqaidah yang sewaktu-waktu bisa melakukan aksinya. Sulitnya negara-negara Arab untuk bersatu sangat menguntungkan Israel. Mereka dapat dengan leluasa menganeksasi wilayah Palestina. Padahal, Israel merupakan satu-satunya musuh bersama yang seharusnya bisa menyatukan negara-negara Arab.

Pensiunan di militer Kuwait, Kolonel Fahed Shulewi, mengatakan, tidak diragukan lagi Israel merupakan musuh utama. “Namun, jika kalian memiliki pemerintahan yang lemah di Timur Tengah, bagaimana kalian bisa menghadapi musuh kalian? Kawasan ini menunggu kelahiran ‘bayi baru’ dan itu belum muncul.” n ap/reuters 

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement