Rabu 03 Jul 2013 09:09 WIB
Politik Mesir

Militer Ancam Presiden Mesir Muhammad Mursi

Demonstrasi di Mesir yang berujung kericuhan.
Foto: news.com.au
Demonstrasi di Mesir yang berujung kericuhan.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Satu per satu sekutu Presiden Mesir Muhammad Mursi terus menjauh. Pihak oposisi telah menutup pintu dialog dengan Mursi. Kubu militer Mesir meninggalkan Mursi dan memberi ultimatum hingga Rabu (3/7) malam kepada Mursi untuk berbagi kekuasaan dengan oposisi.

Mursi makin terisolasi setelah para pembantunya di kabinet sepakat mundur. Hingga kemarin, menurut laporan jaringan media Mesir Asharqul Awsath enam menteri sudah menyampaikan pengunduran diri. Mereka dilaporkan bukan berasal dari Ikhwanul Muslimin, partai berkuasa tempat Mursi bernaung. Selain itu, Juru Bicara Kepresidenan Umar Amir dan Ihab Fahmi sempat diberitakan mengundurkan diri. Tapi, informasi ini ditepis oleh Kantor Berita Annadhol yang menyatakan keduanya kembali aktif.

Salah satu menteri yang dilaporkan Reuters mengundurkan diri adalag Menteri Luar Negeri Kamil Amr Muhammad. Pemerintah belum memberi jawaban terhadap pengunduran diri itu. Amr menjabat menlu sejak Negeri Piramida itu berada di bawah kontrol Dewan Tertinggi Militer Mesir pada 2011.

Pemimpin militer Mesir, Jenderal Abdul Fatah al-Sisi, memberi waktu 48 jam sejak Senin (1/7) malam kepada Mursi agar menyelesaikan persoalan kekuasaan dengan kelompok oposisi. Apabila tidak ada perubahan positif dalam jangka waktu 48 jam, militer akan mengambil tindakan. Pada Selasa (2/7), personel militer mulai terjun ke berbagai kota di Mesir. Mereka menyebar ke seluruh titik tempat massa dari dua kubu berada. Mobilisasi personel militer ke tempat-tempat publik ini terus berlangsung hingga kemarin siang.

Aksi berdarah sempat terjadi pada Senin (1/7) ketika kelompok oposisi menyerang markas Ikhwanul Muslimin, organisasi di mana Mursi berasal. Serangan brutal ini menyebabkan delapan orang tewas. Korban tewas akibat demonstrasi besar-besaran di seluruh Mesir sudah berjumlah 16 orang.

Mursi kembali menegaskan tidak akan meninggalkan posisinya dan yakin dapat mempertahankan kestabilan politik. "Mesir benar-benar tidak akan mengalami langkah mundur apa pun kondisinya,'' kata dia. Mursi mengecam militer yang memberikan ultimatum selama 48 jam karena semakin memperdalam perpecahan.

Presiden Amerika Serikat (AS) Barrack Obama meminta agar Mursi memperhatikan desakan suara pengunjuk rasa. Menurut dia, demokrasi bukan hanya persoalan mempertahankan pemerintahan yang sah. Akan tetapi juga harus memperhatikan suara mayoritas.

''Bahwa, krisis di Mesir hanya bisa diselesaikan lewat proses politik,'' kata Obama dalam pidatonya dari Tanzania, Selasa (2/7). Mursi dan Obama sempat melakukan komunikasi via telepon sehari sebelumnya. Mursi meyakinkan Obama bahwa proses rekonsiliasi sedang berlangsung.

Peringatan terhadap Mursi juga disampaikan oleh kantor komisi hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Juru Bicara Komisi Tinggi HAM PBB, Rupert Colville, seperti dilaporkan Aljazirah menilai bahwa peran militer di Mesir saat ini sangat krusial. "Jangan sampai ada tindakan yang mengingkari proses demokrasi," tutur dia. n bambang noroyono/reuters/ap ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement