Selasa 08 Nov 2016 17:00 WIB

Orang Tua, Ujung Tombak Perangi Obesitas Anak

Red:

Obesitas telah menjadi masalah kesehatan global. Jika dulu penyakit ini banyak ditemui di negara-negara berpenghasilan tinggi, kini kasus yang sama juga dialami penduduk berpenghasilan rendah dan menengah, terutama di daerah perkotaan.

Pada 2014, sebanyak 41 juta anak di dunia mengalami berat badan berlebih dan obesitas. Data ini diperkuat dengan laporan Global Nutrition Report yang menyatakan Indonesia masuk dalam 17 negara di dunia dengan masalah gizi.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Lily S Sulistyowati mendefinisikan obesitas sebagai penumpukan lemak secara berlebihan. Itu terjadi akibat ketidakseimbangan asupan gizi (energy intake) dengan pengeluaran energi (energy expenditure) dalam waktu lama.

Seseorang disebut obesitas jika indeks masa tubuh (IMT) mencapai lebih dari 25 meter persegi. "Penyakit ini dapat meningkatkan masalah kesehatan dan menurunkan angka harapan hidup penderitanya," kata Lily di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebutkan, 18,8 persen anak usia lima hingga 12 tahun mengalami kelebihan berat badan dan 10 persen menderita obesitas. Data yang sama menunjukkan prevalensi obesitas pada anak yang disertai komorbiditas erat kaitannya dengan obesitas pada orang tua. Riskesdas juga menyebutkan prevalensi obesitas meningkat dari 11,7 persen pada 2010 menjadi 15,4 persen pada 2013. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat 50 persen pada 2025.

Pada orang dewasa, obesitas merupakan faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) yang kini mendominasi tren penyebab kematian utama. Di dunia, 2,8 juta orang dewasa meninggal dunia setiap tahun karena PTM yang terkait obesitas.

Penyakit ini juga, kata Lily, berdampak buruk terhadap tumbuh kembang anak. Mereka berisiko tinggi menderita sejumlah penyakit saat dewasa, seperti darah tinggi, aterosklerosis, hipertrofi ventrikel kiri, sumbatan jalan napas saat tidur (obstructive sleep apnea), asma, sindrom polikistik ovarium (PCOs), diabetes melitus (DM) tipe 2, perlemakan hati, abnormalitas kadar lipid darah (dislipdemia), sindrom metabolik, hingga kematian.

Obesitas pada anak umumnya disebabkan beberapa hal, tetapi faktor gaya hidup tidak sehat cenderung lebih dominan. Ini dimulai dari gaya makan dengan asupan energi berlebih, yaitu tinggi lemak jenuh dan gula, rendah serat, dan rendah zat gizi mikro.

Selain itu, perkembangan industri makanan dan teknologi menjadi faktor pendorong anak-anak menderita obesitas. Kebiasaan tinggi mengemil pada anak-anak tinggi saat menonton televisi dan bermain video game serta mengakibatkan anak malas bergerak.

Dari semua itu, pihak yang berperan penting untuk mencegah obesitas pada anak adalah orang tua. Upaya pencegahannya adalah berkala mengecek berat dan tinggi badan anak. Penerapan porsi makan sehat (t-shape plate) menjadi kuncinya dengan komposisi 50 persen sayur, 25 persen karbohidrat, dan 25 persen protein. Konsumsi buah dan sayur dilakukan minimal lima porsi per hari. Langkah ini juga perlu didukung dengan konsumsi makanan rendah gula, garam, dan lemak.

"Saya nggak akan bosan mengingatkan untuk gula porsinya jangan lebih dari empat sendok makan per hari (50 gram), lemak kita ambil dari minyak goreng maksimum lima sendok makan, garam satu sendok teh," ujar Lily.

Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Ahli Gizi (Persagi) dr Rita Ramayulis mengatakan, penanganan kasus obesitas pada anak memerlukan pendekatan yang berbeda dari orang dewasa. Sebab, anak-anak masih dalam masa pertumbuhan. 

Pada anak-anak, gejala fisik obesitas lebih mudah diamati, seperti pipi tembem, wajah bulat, dagu rangkap, leher pendek, perut buncit, dan kedua paha bergesekan. Pada anak laki-laki, obesitas ditandai dengan dada yang membesar, penis mengecil karena tertumpuk lemak, dan pada perempuan mempercepat menstruasi.

Penanganan obesitas pada orang dewasa dapat dilakukan dengan memotong sebanyak 500 kilo kalori konsumsi harian mereka. Tetapi, pada anak-anak indikatornya bukan hanya penurunan berat badan. "Setiap tindakan bertujuan menghentikan lemak bertambah. Selanjutnya, lemak yang ada dalam tubuh diubah menjadi energi," kata Rita.

Anak-anak juga, kata dia, rentan mengalami gangguan psikologis. Itulah sebabnya larangan memakan makanan tertentu secara frontal tidak dianjurkan. Bahkan, anak boleh memakan makanan apa pun. "Di sinilah orang tua bertugas mengawasi ketepatan modifikasi agar asupan gizi terjaga."

Orang tua sangat disarankan untuk membantu anak mengurangi konsumsi mi instan dan makanan bergula, menyediakan makanan berserat tinggi, dan mengatur pola makan anak. Rita menyebutkan, prinsipnya adalah 3M, yaitu move, model, dan meet.

Move artinya anak diajak banyak bergerak untuk mengeluarkan energi berlebihan dalam tubuh. Model artinya menjadikan orang tua menjadi contoh pertama dalam penerapan hidup sehat. Anak juga akan lebih bersemangat jika keluarga dapat bertemu (meet) dan mengolah makanan bersama.

Selain asupan gizi, aktivitas fisik juga menentukan keberhasilan penanganan obesitas. Slim and Health Sport Therapist Rumah Sakit (RS) Mitra Keluarga Kemayoran dan Mall Taman Anggrek dr Michael Triangto mengatakan, orang tua perlu merangsang anak untuk berolahraga.

"Intinya bagaimana men-trigger agar anak mau berolahraga, pelan-pelan. Kalau asupan energi sudah masuk, lalu dia banyak melakukan aktivitas, segemuk apa pun orang itu dia akan jadi lebih kurus," kata Michael.

Orang tua dapat memulai langkah ini dengan mengajak anak berolahraga bersama. Sembari bermain, mereka diajak melakukan gerakan sederhana, seperti berjalan, berlari, melompat, melempar, menangkap bola, dan sebagainya. Gerakan dan alat yang digunakan juga dapat dimodifikasi sehingga lebih familiar dan tidak memberatkan. Dengan begitu, anak akan merasakan olahraga sebagai aktivitas yang menyenangkan. rep: Sri Handayani ed: Dewi Mardiani

Masalah Gizi di Indonesia

Kasus                            Persentase

1. Balita kurus                    12,1 persen

2. Balita kegemukan                    11,9 persen

3. Kegemukan di usia di atas 18 tahun        28,9 persen

Sumber: Global Nutrition Report

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement