Senin 29 Dec 2014 15:00 WIB

Ceramah Jangan Sara

Red:
Khatib tengah berceramah di hadapan jamaah.
Foto: Republika/Raisan Al-Farisi
Khatib tengah berceramah di hadapan jamaah.

JAKARTA — Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) sepakat akan adanya pengaturan tentang ceramah agama dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran Umat Beragama (PUB). Meski demikian, Ketua Ikadi KH Ahmad Satori Ismail menjelaskan, pengaturan seharusnya diperuntukkan hanya jika ceramah tersebut menyangkut umat beragama lain.

Dia menjelaskan, aturan diperlukan supaya penceramah tidak mengganggu umat agama yang berbeda. Menurutnya, pemerintah memang mesti tegas supaya mencegah gesekan di kalangan masyarakat. "Isi penyiaran agama mesti diatur. Yakni, jangan membawa-bawa unsur sara (suku agama ras antargolongan) dan politik praktis. Juga, utamakan dengan bahasa yang santun," katanya saat dihubungi Republika, Ahad (28/12).

Hanya, Kiai Satori mengungkapkan, pemerintah tidak perlu membatasi jika ceramah agama dilakukan dalam internal umat beragama, seperti khotbah Jumat. Menurutnya, setiap agama sudah memiliki aturan sendiri mengenai dakwah kepada umatnya. Apalagi, pemerintah mesti memperhatikan berbagai mazhab dan perspektif yang hidup di dalam tubuh agama. "Supaya persatuan umat tetap terjaga," katanya. Oleh karena itu, dia berpendapat, RUU PUB sebaiknya membedakan dua poin penyiaran agama. Yakni, terkait dakwah dalam internal dan lingkup eksternal.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sebelumnya mengatakan, Kemenag tengah mengkaji aturan mengenai ceramah agama. Dia menjelaskan, aturan tersebut akan masuk ke RUU Perlindungan Umat Beragama yang akan diusulkan ke DPR pada April 2015. Selain ceramah agama, RUU PUB akan mengatur pendirian rumah ibadah dan aliran kepercayaan di luar enam agama resmi.

Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partaonan Daulay meminta RUU PUB tidak mengatur dengan detail masalah teknis pelaksanaan keyakinan umat beragama. Termasuk, pengaturan materi dakwah. Dia mengkhawatirkan pemerintah melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan ajaran agama warga negara. Padahal, Pasal 29 UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan umat beragama untuk melaksanakan agama dan kepercayaannya.

"Selama pelaksanaan ajaran agama itu tidak mengganggu kepentingan kelompok lain, pemerintah tentu harus membuka ruang. Dan pada tataran tertentu, pemerintah diharuskan untuk memfasilitasi agar umat beragama mampu melaksanakan ajaran agamanya dengan baik dan benar," ujarnya. Menurut Saleh, Kemenag sebaiknya  melakukan kajian serius terhadap nilai urgensi RUU PUB tersebut. Hasil kajian itu lalu dipublikasikan ke masyarakat. Dengan demikian, masyarakat bisa memberikan masukan konstruktif.

Dia menambahkan, wacana pengaturan materi dakwah dalam RUU PUB tidak semestinya digulirkan oleh Kemenag. Menurutnya, isu tersebut dapat menimbulkan polemik di masyarakat. Apalagi, klausul pengaturan materi dakwah masih bersifat usulan. Menurutnya, jangan sampai masyarakat menduga RUU PUB dilahirkan hanya fokus untuk mengatur materi dakwah.

"Kan banyak klausul yang mau dimuat dalam RUU PUB itu. Lalu, mengapa isu ini yang ditonjolkan? Kan, bisa saja orang menduga bahwa RUU tersebut sengaja dibuat hanya untuk mengatur penyampaian dakwah di tengah masyarakat," katanya

Rumah ibadah

Selain tentang penyiaran agama, draf RUU PUB juga akan menyinggung soal pendirian rumah ibadah. Sehubungan dengan itu, Kiai Satori menilai, aturan rumah ibadah dalam surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri sudah bagus. Karenanya, kata Kiai Satori, pemerintah hanya perlu menambahkan beberapa poin dalam draf RUU PUB.

"Supaya umat beragama di Indonesia lebih harmonis," ujarnya. Misalnya, RUU PUB dapat ditegaskan, konsekuensi hukum terkait penipuan perizinan pendirian rumah ibadah. Dia mengungkapkan, tidak sedikit pendirian sebuah bangunan yang melanggar izin semula. Awalnya, bisa saja bangunan itu dikatakan untuk fasilitas umum. Namun, bangunan tersebut justru digunakan sebagai rumah ibadah umat agama tertentu.

"Yang seperti itu perlu aturan tegas. Misalnya, izin pendirian bangunan itu segera dicabut," katanya. Dia melanjutkan, aturan pendirian rumah ibadah juga sebaiknya memperhatikan aspek mayoritas-minoritas suatu daerah. Dia mencontohkan, kalau masyarakat setempat mayoritas beragama Islam, masjid boleh didirikan. Demikian pula, bila mayoritas agama di sana non-Islam.

N c14 ed: a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement