Rabu 18 Jan 2017 14:00 WIB

Menag: Pasal Penistaan Agama Masih Relevan

Red:

JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai undang-undang (UU) No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama hingga kini masih relevan digunakan. Undang-undang tersebut harus dimaknai agar ajaran pokok agama tidak disalahgunakan oleh siapapun sehingga dapat menimbulkan kerawanan sosial. Seharusnya, kata dia, undang-undang tersebut dilihat dari sisi preventif sehingga tidak menyebabkan masalah sosial.

"Jadi tidak kemudian digunakan untuk menghukum orang, dalih menista atau menoda, tapi harus betul-betul dimaknai bahwa UU itu justru dalam rangka agar masing-masing ajaran agama tidak lalu disimpangi oleh siapapun juga sehingga malah itu lalu menimbulkan kerawanan sosial," jelas Lukman di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (17/1).

Ia menjelaskan, undang-undang (UU) No. 1/PNPS/1965 dibentuk untuk mencegah adanya oknum yang menistakan ajaran agama dan menyebarluaskan ajaran agama yang justru tak sesuai dari ajaran agama itu sendiri. UU tersebut, kata dia, dibentuk untuk menjaga prinsip ajaran agama dari tindakan penistaan.

"Itu karena dulu tahun 65 banyak sekali orang mengaku-aku sebagai tokoh agama, ahli agama, lalu menyebarluaskan ajaran-ajaran yang justru bertolak belakang dari esensi agama itu sendiri," jelas dia.

Bahkan, menurut dia, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus bahwa UU tersebut masih relevan dalam konteks bangsa Indonesia. "Itu pernah diuji di MK, dan MK memutus UU itu masih sangat relevan untuk konteks ke-Indonesiaan kita," ucap Lukman.

Sekretaris Jenderal MUI, Anwar Abbas mengatakan, UU tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama berfungsi untuk membuat suatu masyarakat yang ada di suatu negara bisa hidup dengan aman, tenteram dan damai.

"Supaya pemeluk agama rukun dengan intern umat beragama, rukun dengan pemeluk agama lain dan rukun dengan pemerintah," kata Anwar kepada Republika, Selasa (17/1).

Seandainya UU yang melarang penodaan agama dicabut, maka sudah terbayang apa yang akan terjadi di tengah masyarakat. Ia menyebut akan terjadi percekcokan dan sengketa di tengah masyarakat karena tidak ada yang menjadi pedoman. Sehingga, orang dengan seenaknya akan mencerca dan memaki agama, kitab suci, nabi bahkan tuhan. "Hal ini sangat berbahaya," tegas dia.

Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzakir menuturkan Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama justru perlu diperkuat.

Muzakir juga menilai, jika undang-undang tersebut dicabut, maka patut dipertanyakan siapa pihak yang akan mengatur bila terjadi konflik antaragama. "Harusnya ini dipertahankan bahkan kalau perlu diperkuat. Kalau itu dilonggarkan, khawatirnya jika terjadi konflik maka itu tidak terselesaikan," tutur dia kepada Republika, Selasa (17/1).

Selain itu, Muzakir memaparkan, pihaknya pernah membuat analisis terhadap kondisi jika UU penodaan agama itu dicabut. Analisis tersebut termasuk membahas ihwal pihak mana yang akan menyelesaikan perkara konflik agama jika UU itu dicabut.

Jika diselesaikan secara perorangan, dari pribadi ke pribadi, menurut Muzakir, tentu sama saja dengan melegalisasi perang antaragama. "Bahayanya di situ. Makanya itu perlu diatur supaya sesuai dengan filsafat Pancasila, tugasnya negara itu adalah mencegah terjadinya konflik," tutur dia.

Sebelumnya, menurut praktisi antropolog Yando Zakaria, salah satu hal yang membuat masyarakat Indonesia semakin intoleran adalah persoalan hukum yang tidak terimplementasikan secara baik. Salah satunya adalah adanya aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama yaitu undang-undang (UU) No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama.

"Kita perlu berpikir ulang UU penistaan agama. Ini bukan persoalan agama. Penistaan agama menjadi sangat relatif, dan bisa dipolitisasi," kata Yando usai menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Presiden, Senin (16/1).

Yando menjelaskan, di banyak negara khususnya yang menganut demokrasi, UU yang menyangkut tentang penistaan agama telah dihapuskan. Namun, Indonesia masih mempunyai UU ini, padahal negara ini pun adalah negara demokrasi. rep: Dessy Suciati Saputri, Fuji Eka Permana, Umar Mukhtar, ed: Hafidz Muftisany

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement