Kamis 06 Aug 2015 13:00 WIB

Tetap Punya Risiko Konstitusional

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

JAKARTA — Pengamat hukum tata negara M Nasef mengatakan, dalam perspektif ketatanegaraan, rencana positivisasi pasal penghinaan presiden punya risiko konstitusional. 

“Pertama, materi pasal penghinaan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 264 RUU KUHP itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang telah dibatalkan MK melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006,” jelas Nasef saat dihubungi, Rabu (5/8).

Oleh karena itu, sambung Nasef, rencana dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden bisa dianggap sebagai constitutional disobedience. Kedua, lanjut Nasef, materi pasal penghinaan tersebut bisa menjadi “bumerang” bagi pelaksanaan hak-hak konstitusional warga negara.

Terutama, dalam hak mengeluarkan pendapat dan hak berekspresi. Sebab, tidak ada batasan definisi yang jelas soal “penghinaan” sehingga pasal tersebut sering disebut pasal karet.

“Sejarah ketatanegaraan kita, khususnya pada masa Orde Baru, telah menunjukkan betapa berbahayanya elastisitas pasal tersebut bagi keberlangsungan hak dan kebebasan berekspresi warga negara,” ujar Nasef.

Ketiga, pasal tersebut berpotensi merusak iklim demokrasi yang sedang dikonsolidasikan. “Nalar kritis bangsa sebagai bagian dari dinamika berdemokrasi bisa terganggu kalau pasal itu benar-benar dipositifkan,” ucapnya.

Meski demikian, bukan berarti segala bentuk penghinaan terhadap presiden diperbolehkan. Sebagai seorang pemimpin negara, presiden harus tetap dijunjung tinggi. “Saya kira instrumen perundang-undangan telah mengatur soal itu sehingga bukan berarti ketika pasal penghinaan presiden tidak dimasukkan dalam RUU KUHP, berbagai bentuk penghinaan presiden tidak bisa diproses secara hukum,” katanya menegaskan.

Sedangkan, pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fikar Hajar, menegaskan, pasal norma yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa dihidupkan kembali. “Pasal dan norma yang sudah dibatalkan oleh MK tidak bisa dihidupkan lagi,” kata Abdul saat dihubungi, Rabu (4/8).

Karena, sambung Abdul, dalam menghidupkan kembali pasal harus ada yang menguji permohonan lagi, padahal sebelumnya telah dikabulkan.n c07/c20 ed: muhammad hafil 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement