Ahad 15 Feb 2015 15:28 WIB

TJIPETIR DULU, CIPETIR KINI

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Ia membuka situs yang menunjukkan bantalan-bantalan karet mengambang. "Lihat ini, ada banyak bantalan karet seukuran papan catur ditemukan di perairan Eropa. Ada tulisan `Tjipetir', katanya itu berasal dari Indonesia sejak seratus tahun yang lalu," katanya. Pernyataan kawan itu membuat saya repot. Repot karena harus ikut membuka situs portal yang memberitakan soal Tjipetir ini.

Saya sempat malas karena koneksi internet saat itu sedang tak mau diajak kompromi. Tapi, seketika perasaan takjub setengah kesal juga langsung menghinggapi saya. Takjub karena dalam pemberitaan itu disebutkan benda-benda kenyal aneh bertuliskan "Tjipetir" berasal dari Indonesia. Dikatakan pula, benda berwarna kuning gelap itu sudah banyak ditemukan terdampar sejak 1800-an silam.

Tapi saya kesal, pasalnya pikiran ini malah jadi dibuat penasaran oleh informasi tersebut. Rasa penasaran semakin mengganjal manakala portal-portal lain yang saya cek pun berisikan hal sama. Tapi, setelah selang beberapa bulan, rasa gatal di pikiran ini akhirnya bisa saya garuk juga.

Bersama seorang rekan bernama Raisan, saya menuju ke sebuah lokasi terpencil di perbatasan Kota-Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, untuk mencari jawaban dari ragam pemberitaan tersebut.

Dari portal berita yang sama pula, saya mendapatkan informasi mengenai keberadaan sebuah pabrik pengolah komoditas bernama guttapercha. Konon, benda- benda yang terdampar di perairan Eropa, khususnya Eropa Barat, itu berasal dari pabrik ini.

Tak mudah untuk menggapai pabrik tersebut. Setelah dua jam melintasi batas Kota Sukabumi, menuju Cikidang, Kabupaten Sukabumi, kami tak ingin berakhir dengan kegagalan. Meskipun, jalan 600 meter terakhir menuju pabrik berubah berbatu. Setelah sibuk memilah-milah bagian jalan yang bisa dilalui, kami akhirnya menyelesaikan rute dengan turunan lumayan curam tersebut.

Di ujung jalan, kami sampai di depan kompleks pabrik tua yang bernuansa gelap.

Satu bangunan pabrik paling besar berdiri di tengahnya. Semua bagian bangunannya terbuat dari seng-seng berkarat.

Di pintu gerbang, ada sebuah rumah mungil bergaya indies. Total ada enam bangunan di kompleks pabrik seluas dua lapangan bola ini. Saya sempat mengira pabrik ini sudah ditinggalkan dan terbengkalai. Tapi ternyata tidak. Seorang satpam menghampiri dan menanyakan keperluan saya.

Saya lalu diantar menemui atasannya, penanggung jawab pabrik sekaligus mandor besar setempat, Budi Prayudi. Dari Budi, saya mendapatkan penjelasan bahwa betapa beruntungnya kami datang pada awal tahun.

"Awal tahun dan akhir tahun adalah masa produksi gutta-percha. Pertengahan tahun sudah pasti di sini tidak ada produksi, pabrik pun sepi," kata pria berkaca mata ini.

Meski penampakan kompleks pabrik ini tampak sepi, sebenarnya kegiatan produksi masih dilakukan. Budi mengatakan, setiap hari satu ton gutta-percha diolah di sini untuk dijadikan semacam lempengan karet keras dan tebal.

Budi menjelaskan, gutta-percha adalah sebuah tumbuhan yang memiliki getah berkualitas baik. Daun gutta-percha yang menyimpan banyak getah dapat diolah menjadi bahan baku pembuatan macam-macam benda. Seperti bola golf, sambungan akar gigi, dan pelapis kabel keras.

Budi dan para pegawai lainnya bekerja untuk Perkebunan Sukamaju, PTPN VIII, Sukabumi yang merupakan usaha peninggalan kolonial Belanda. Dia berujar, pabrik tempat ia bekerja ini dahulu dikenal dengan nama Perkebunan Tjipetir.

Dibangun oleh Hindia Belanda pada 1885, pabrik ini merupakan bagian dari kerajaan bisnis para konglomerat kolonial yang tinggal di Sukabumi Kota. Saat itu, kata dia, pemimpin pertama Perkebunan Tjipetir adalah Nenep Trom Da Hass, orang Belanda.

Di tangan para pengusaha Belanda, daerah Cipetir mampu menghasilkan gutta- percha kualitas dunia yang diekspor sejak seratusan tahun lalu. Dari sejarah pabrik tersebut, Budi menggaransi bahwa memang benar adanya, benda-benda yang sempat menghebohkan perairan Eropa ialah olahan gutta-percha produksi Sukabumi.

"Dulu kandiekspor untuk keperluan medis karena di Eropa banyak perang. Itu leluhur kami yang buatnya di pabrik ini.

Saat dikirim ke sana, kapal pengangkutnya mengalami karam, imbasnya benda-benda ini mengapung tak keruan selama lebih dari seratus tahun," ujar Budi.  rep: Gilang Akbar Prambadi ed: nina chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement