Rabu 18 Jan 2017 15:00 WIB

Larangan Jilbab di Austria Menuai Protes

Red:

WINA -- Sekelompok aktivis muda di Wina, Austria, melakukan aksi unjuk rasa, Senin (16/1). Mereka menyampaikan protes atas adanya larangan menggunakan jilbab terhadap pegawai pemerintahan, termasuk para guru dan pengajar di sekolah-sekolah.

Aksi protes tepatnya berlangsung di depan Universitas Wina. Para demonstran meneriakkan slogan-slogan yang menentang larangan itu. Mereka menyerukan kesetaraan dan kebebasan beragama bagi semua orang, khususnya warga Austria.

Larangan penggunaan jilbab bagi pegawai pemerintahan di Austria digagas oleh Menteri Luar Negeri dan Integrasi Sebastian Kurz. Salah satu alasan yang disebut membuat ia ingin menerapkan  aturan ini adalah kekhawatiran adanya kesan negatif dari penggunaan atribut Muslimah tersebut.

Kurz menjelaskan, salah satu alasan mengapa para pengajar di Austria seharusnya tidak boleh mengenakan jilbab. Ia menilai mereka adalah sosok yang menjadi panutan atau contoh peran sehingga berpengaruh besar bagi masa depan negara.

"Sekolah menjadi tempat banyak orang mulai belajar berbagai hal dan ini memberi pengaruh besar karena itu guru pasti adalah sosok yang jadi panutan utama," ujar Kurz.

Ia juga mengatakan bahwa Austria adalah negara yang ramah dan terbuka terhadap agama. Namun, Kurz juga menekankan bahwa negara yang menerapkan konsep sekularisme atau dalam arti netral terhadap permasalahan agama dan tidak mendukung hal-hal terkait hal itu.

Namun, ia menjelaskan bahwa atribut agama Kristen dan Katolik tetap diperbolehkan untuk berada di seluruh sekolah Austria. Ini mengacu pada budaya historis yang ada di negara tersebut.

Ia merancang undang-undang untuk menetapkan aturan itu bersama dengan Muna Duzdar, seorang menteri junior dari mitra koalisi Sosial Demokrat. Larangan penggunaan jilbab yang hendak diberlakukan pada seluruh pegawai pemerintahan Austria dan pengajar di sekolah, serta institusi pendidikan lainnya secara resmi diumumkan oleh Kurz pada Jumat (13/1) lalu.

Duzdar memiliki latar belakang keluarga Arab dan Muslim. Ia akan melakukan diskusi terbuka dalam rencana rancangan undang-undang larangan itu dengan seluruh komunitas agama.

"Saya secara terbuka akan berdiskusi mengenai pakaian dan simbol-simbol seluruh agama. Bisa dikatakan, seseorang tidak dapat didiskriminasi di tempat bekerja hanya atas dasar agama," kata Duzdar menjelaskan.

Nantinya, ia juga menunggu keputusan dari pengadilan Eropa (ECG) mengenai rencana aturan tersebut. Setelah itu, Duzdar dapat mengirim rancangan undang-undang ke parlemen. Namun, batas waktu penyelesaian rancangan titu belum ditetapkan.

Jika disahkan oleh parlemen Austria, larangan penggunaan jilbab di negara itu akan jauh lebih ketat dibandingkan aturan serupa yang berlaku di Prancis. Di sana, hukum hanya dikenakan untuk Muslimah yang mengenakan jilbab besar.

Kurz menjelaskan, nantinya larangan juga mungkin mencakup penggunaan cadar dan jilbab besar. Kemudian ada pembatasan distribusi kitab suci Islam, Alquran, oleh jamaah Salafi.

Aksi protes bermunculan, termasuk sebelumnya dari sejumlah lembaga sosialis dan liberal, serta komunitas Muslim Austria. Salah satu komunitas Muslim di negara itu, Muslimische Jugend Osterreich (Muslim Youth of Austria), menilai kebijakan yang dikeluarkan dengan alasan penampilan sangat tidak berdasar. Pihaknya menolak adanya kesan negatif dari perempuan yang menggunakan jilbab di tempat bekerja.

"Ini adalah tindakan yang meremehkan dan tidak bisa diterima. Jilbab bukan berarti jadi penghalang dan membuat penampilan perempuan di tempat bekerja jadi terkesan negatif," ujar juru bicara komunitas, Canan Yasar, dilansir Anadolu Agency.

Ia melihat dengan jelas aturan yang hanya diberlakukan untuk Muslim ini sebuah bentuk diskriminasi. Namun, Yasar juga menilai adanya motif politik di balik larangan penggunaan jilbab yang merupakan atribut agama.

Kemudian, kelompok komunitas Muslim lainnya di Austria, IGGIO, mencatat bahwa diskriminasi terhadap agama di tempat bekerja adalah hal yang bertentangan dengan hukum. Pada dasarnya, hal ini mengguncang kepercayaan warga Austria yang menilai negara itu menganut prinsip kebebasan dan penghormatan terhadap umat beragama.        rep: Puti Almas/reuters, ed: Yeyen Rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement