Kamis 07 Jan 2016 13:00 WIB

Jilbab Angie dan Cerita Pangeran Ibas

Red:

Setelah beberapa lama mendekam dalam sel tahanan, mantan anggota DPR periode 2009-2014 dari Partai Demokrat, Angelina Sondakh, kembali memberikan kesaksian di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/1). Angie, begitu Angelina akrab disapa, kali ini menjadi saksi untuk terdakwa mantan bendahara Partai Demokrat, M Nazaruddin.

Duduk di kursi kesaksian, Angie tampak lebih Muslimah dengan memakai jilbab merah muda dan kemeja putih serta celana bahan warna hitam. Kesaksiannya di hadapan majelis hakim untuk menguji dakwaan terhadap Nazaruddin yang didakwa menerima Rp 40,37 miliar dari PT Duta Graha Indah (DGI) dan PT Nindya Karya terkait proyek pemerintah pada 2010, melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp 627,86 miliar pada periode 2010-2014, dan Rp 83,6 miliar pada periode 2009-2010.

Menurut Angie, Nazar kerap meminta para anggota DPR periode 2009-2014 untuk meloloskan sejumlah proyek yang dikelola PT DGI. Angie yang saat itu menjadi anggota Komisi X DPR sekaligus Badan Anggaran DPR merupakan salah satu sasaran Nazar. "Di partai ada kewajiban bayar iuran. Karena saya tidak punya uang untuk bayar iuran, menurut terdakwa kerja saja nanti dibebaskan iurannya," kata Angie.

Untuk memuluskan keinginannya, Angie mengisahkan, Nazar sering kali menjual nama-nama penting di Partai Demokrat. Adalah mantan ketua umum (ketum) Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dan putra mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Edhi Baskoro, yang kerap disebut-sebut Nazar demi melancarkan proyek di perusahaannya. "Kalau Nazar mengatakan sudah setahu ketum dan seizin pangeran," kata Angie.

Salah seorang jaksa pun mendesak Angie untuk menyebut identitas ketum dan pangeran yang dimaksud. Pada awalnya, Angie seperti keberatan menyebutkan dua nama itu, namun mantan Puteri Indonesia itu pun membeberkan, "Saya juga tau dari Pak Nazar, pangeran itu Ibas (Edhi Baskoro)," ungkap Angie.

Saat menjabat sebagai anggota DPR, Angie adalah anggota Komisi X yang salah satu mitra kerjanya adalah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Angie mengungkapkan, saat itu ada sekitar 16 daftar proyek yang diajukan ke Kemendiknas dengan jumlah lima proyek yang lolos dianggarkan APBN sekitar Rp 100 miliar. Nazar pun kemudian memperkenalkan Angie kepada staf pemasaran Anugerah Grup, Mindo Rosalina Manulang, untuk memuluskan proyek-proyek itu digarap oleh perusahaan milik Nazaruddin.

Menurut Angie, ia ditugaskan agar proyek-proyek yang sudah didaftarkan oleh Rosa kemudian masuk ke dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Proyek-proyek tersebut adalah Universitas Sumatra Utara (USU), Universitas Udayana, Universitas Mataram, dan Universitas Cendana yang masing-masing bernilai sekitar Rp 30 miliar. Meski ditugaskan untuk mengurus proyek di Kemendiknas, Angie mengaku hanya fokus untuk proyek pendidikan tinggi dan bukan proyek pendidikan dasar dan menengah.

Dalam persidangan, Angie juga membongkar pembagian jatah untuk fraksi di DPR dari hasil penganggaran proyek-proyek di kementerian. Lantaran periode 2009-2014 Partai Demokrat menguasai 20 persen kursi DPR, partai itu pun kebagian jatah seperlima dari anggaran. Jatah 20 persen untuk Partai Demokrat tersebut tidak seluruhnya untuk partai, tapi hanya lima persen yang menjadi fee (komisi) yang murni untuk partai. "Jadi 20 persen adalah jatah, yang lima persen adalah fee, katakanlah jatah partai Rp 1 triliun itu kegiatannya, Pak Nazar bilang Partai Demokrat harus dapat lima persen sebagai fee-nya, sehingga lima persen itu ada alokasinya, 15 persen itu tidak ada karena itu kan jatahnya 20 persen total anggarannya, yang hak partai itu lima persen," kata Angie menjelaskan.

Seusai Angie memberikan kesaksian, pengacara Angie, Rudy Alfonso, menginformasikan bahwa kliennya baru saja mendapatkan pengurangan hukuman dari Mahkamah Agung (MA). Upaya peninjauan kembali (PK) Angie dikabulkan sehingga mengurangi hukuman menjadi 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. "Yang dia sampaikan ke saya, dia sangat sedih," kata Rudy, mengomentari PK Angie.

Sebelumnya, 20 November 2013, majelis kasasi MA menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta ditambah kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dolar AS (sekitar Rp 27,4 miliar). Putusan itu jauh lebih berat dibanding putusan banding dari Pengadilan Tinggi Jakarta yang tidak membebankan uang pengganti.

Dalam putusan pengadilan tingkat pertama pada 10 Januari 2013, Angie dinilai terbukti menerima suap sebesar Rp 2,5 miliar dan 1,2 juta dolar AS terkait pembahasan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Saat itu, hukuman yang dijatuhkan untuk Angie adalah 4,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta. n antara ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement