Kamis 19 Jan 2017 14:00 WIB

Asing Kelola 11 Pulau RI

Red:

JAKARTA -- Pusat Kajian Maritim Untuk Kemanusiaan mencatat sebanyak 11 pulau kecil di sejumlah kepulauan di Tanah Air telah dikelola swasta asing. Nilai investasi yang ditanamkan tidak sedikit, yaitu mencapai Rp 11,046 triliun.

Direktur Pusat Kajian Maritim Untuk Kemanusiaan Abdul Halim menjelaskan, sebelas pulau kecil itu tersebar di Kepulauan Riau (Riau), Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat), dan Kabupaten Pandeglang (Banten).

"Kesebelas pulau ini dikelola untuk kepentingan wisata bahari, kebun kelapa sawit, dan gudang penyimpanan minyak," ujarnya kepada Republika di Jakarta, Rabu (18/1).

Menurut Halim, kebijakan ini berjalan lantaran terdapat dasar hukum yang memayungi. Bentuknya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Di dalam UU ini, Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki otoritas penuh mendelegasikan kewenangannya kepada investor asing. Halim mengatakan, seharusnya pemerintah melakukan model pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal secara swadaya dengan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat.

Sebab, masyarakat, khususnya masyarakat perikanan tradisional, menyadari kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan adil. Terlebih mereka mendapati betapa besarnya manfaat sumber daya laut bagi kehidupannya.

"Ada perbedaan cara pandang antara negara dan masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Negara memandang sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk memperbesar pundi penerimaan negara. Sebaliknya, masyarakat pesisir mengartikannya sebagai pusat kebudayaan mereka," kata Halim.

Polemik seputar pengelolaan pulau oleh asing mencuat pekan lalu. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman menjelaskan, rencana ini akan dieksekusi lantaran ada permintaan dari sejumlah negara.

Semisal Jepang yang berniat mengelola pulau kecil di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara. Namun, belum ada tindak lanjut terkini dari pemerintah terkait rencana tersebut. 

Ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membantah ada pulau di wilayah NKRI yang telah diambil alih asing. "Siapa yang bilang? Enggak ada," ujarnya.

Susi menegaskan, warga negara asing (WNA) pada dasarnya dapat mengelola pulau-pulau yang berada di Indonesia, tapi tidak dapat memiliki hak milik pulau tersebut. Hal yang diperbolehkan dimiliki warga asing hanyalah hak guna lahan di pulau tersebut.

"Kalau, misalnya, pulau itu 100 hektare yang boleh dikelola, bukan dimiliki ya, dikelola. Jadi, kalau dalam pulau-pulau kecil itu tidak boleh ada sertifikat hak milik, ada hak guna pakai, hak guna lahan, hak guna bangunan, itu yang diperbolehkan," kata Susi.

Selain itu, dia menjelaskan, masih terdapat pula persyaratan bagi warga asing untuk mengelola pulau di Indonesia. Salah satunya, yakni maksimum pengelolaannya hanya 70 persen dari wilayah pulau.

Dari jumlah itu, sebanyak 30 persen harus disediakan untuk lahan hijau. Sedangkan, 30 persen lainnya harus dikuasai oleh negara.

Harus patuh

Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Wijayanti mengatakan, kementerian tidak membedakan pengelolaan pulau maupun wilayah pesisir dari sisi asal negara. Warga negara Indonesia maupun WNA memiliki hak yang sama.

"Kita tidak membedakan siapa pun. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berlaku untuk semua usaha kegiatan, siapa pun pemiliknya," ujar Laksmi kepada Republika.

Meskipun demikian, dia memastikan, pengelola harus patuh terhadap UU tersebut. Sebab, pengelolaan dampak lingkungan bersifat site-specific.

"Misalnya, owner (pemilik) adalah jaringan hotel internasional. Dia buka hotel di Bali dan Yogyakarta. Masing-masing punya izin lingkungan, tidak digabung-gabung. Proses yang di Bali pasti tidak mewakili yang di Yogya karena kelayakan dan kewajiban pengelolaan lingkungan hidupnya harus sesuai lokasi," kata Laksmi menjelaskan.       rep: Intan Pratiwi, Dessy Suciati Saputri, Melisa Riska Putri, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement