Selasa 17 Jan 2017 14:00 WIB

Menjelang Pelantikan Presiden AS ke-45 Donald Trump (bagian 1): Janji Obama dan Ancaman Trump

Red:

 

AP                                             

 

 

 

 

 

 

 

 

Pada 2009 lalu, seorang senator Partai Demokrat dari Illinois bernama tengah 'Hussein' dilantik menjadi presiden Amerika Serikat (AS). Barack Hussein Obama, nama lengkap pria blasteran kulit hitam Kenya dan kulit putih AS tersebut, kebetulan juga menjabat saat AS sedang tak hangat hubungannya dengan dunia Islam.

Perang selama enam tahun yang dikomandoi pendahulunya, George W Bush, di Irak dan Afghanistan dengan dalih memberantas radikalisme Islam penyebab serangan terorisme World Trade Center pada 2001, menyisakan luka. Obama naik tampuk dengan misi mengobati luka tersebut.

Tak lama setelah dilantik, Obama berangkat ke Mesir, dan berpidato di Universitas Al-Azhar Kairo pada Juni 2009. Ia berbicara kepada seluruh komunitas Muslim. Pidato bersejarah tersebut kini dikenal dengan judul "A New Beginning" alias "Permulaan Baru".

Obama menjanjikan hubungan yang lebih akrab antara AS dan dunia Islam. Ia menjanjikan upaya perdamaian di Timur Tengah. Menjanjikan akan membela umat Islam bila diserang dengan kebencian di negaranya. Berjanji mengakhiri intervensi serampangan AS di dunia Muslim.

Sebagian janji tersebut ia penuhi, sebagian lainnya meleset. Ia memenuhi janji menarik pasukan dari Irak dan Afghanistan meski terus mengirim pesawat pengebom tanpa awak ke tujuh negara mayoritas Muslim.

Sementara di dalam negeri, upaya Obama meredam kebencian terhadap komunitas Muslim terus ia lakukan. Tahun lalu, ia bahkan mengunjungi masjid guna menekankan kampanyenya tersebut. Kendati demikian, awal baru yang dijanjikan Obama ternyata tak berakhir seperti yang ia harapkan di ujung masa jabatan.

Rakyat AS kini tengah menanti pelantikan presiden baru yang dijadwalkan akan dilakukan pada 20 Januari mendatang. Alih-alih mendapatkan presiden wanita pertama, AS justu mendapatkan presiden yang tak ragu menyampaikan pesan-pesan bertendensi Islamofobia bernama Donald Trump.

Dilansir dari Aljazirah, sejak kampanye presiden pada 2016 lalu, Trump seolah menghidupkan kembali Islamofobia. Bagi Trump, memfitnah umat Islam dalam kampanye merupakan bagian dari strategi kemenangan.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan NBC pada Desember 2015 menunjukkan, sebanyak 25 persen rakyat Amerika mendukung Trump memberlakukan pelarangan total bagi Muslim dari luar negeri memasuki AS. Bahkan, jajak pendapat yang dilakukan pada Maret 2016 menunjukkan dukungan yang lebih besar, dengan angka 51 persen.

Semakin angka-angka dukungan itu membesar, Trump semakin kuat mengampanyekan Islamofobia. Dia memberi makan rakyat mayoritas kulit putih dengan Islamofobia yang dibumbui kebencian. Dan tampaknya, upayanya itu menunjukkan hasil dalam pemilu presiden pada 8 November lalu.

Trump tidak mengadopsi pandangan Islamofobia yang ditunjukkan dengan berhati-hati, seperti yang dilakukan mantan presiden George W Bush dan wakilnya, Mitt Romney. Ia juga tidak memandang Muslim secara eksklusif dari lensa kebijakan keamanan nasional, seperti yang dilakukan Barack Obama dan Hillary Clinton.

Dia tidak menekankan rasa cinta damai dan moderat ketika berbicara tentang Muslim. Bahkan, Trump mengesampingkan basa basi politik dengan terang-terangan mengumbar kebencian.

Terpilihnya Trump sebagai presiden ke-45 AS, diikuti dengan rencana kebijakan pendataan Muslim AS yang diumbarnya. Rencana tersebut dikemukakan oleh tim transisi Trump, Kris Kobach, yang kemudian dibantah Presiden Obama.

Menurut Southern Poverty Law Center (SPLC), tindakan kebencian semakin meningkat pascapemilihan presiden. Organisasi hak sipil tersebut mencatat ratusan kasus pelecehan terhadap Muslim terjadi di berbagai wilayah AS.

Kasus kebencian bahkan terjadi di tempat-tempat ramah Muslim, seperti New York dan Michigan. Kedua wilayah itu adalah rumah bagi komunitas Muslim terbesar di AS.

Diperkirakan sekitar delapan juta Muslim tinggal di wilayah tersebut. New York dan Michigan dikenal dengan keberagamannya yang besar, tidak hanya mengenai agama, tetapi juga etnis dan identitas lainnya. Di luar pusat kota, seperti di Los Angeles dan Detroit, Muslim secara luas tersebar dalam jumlah yang relatif kecil.

Akbar Ahmed, ketua studi Islam di American University mengatakan, Muslim AS sedang mengalami krisis kepemimpinan. Fragmentasi agama yang dibawa Trump sangat rawan meningkatkan lonjakan permusuhan.

Namun, Andre Carson, salah satu dari dua Muslim di Kongres AS mengatakan, saat ini umat Muslim yang mulai terlibat dalam politik berjumlah lebih besar dari sebelumnya. Baginya, kecemasan itu harus bisa dilawan umat Muslim dengan maju ke ranah politik dan menjadi pejabat publik.

"Semua harapan tidak hilang. Tetapi, jika kita tidak menjadi sesuatu mereka tidak akan berani melakukan apa pun yang mereka inginkan," kata Carson, dikutip The Guardian.

Politikus Demokrat, termasuk Senator Massachusetts Elizabeth Warren, senator Vermont Bernie Sanders, dan senator Nevada Harry Reid telah meminta Trump menghentikan retorika kebencian terhadap Muslim. Namun, tampaknya Trump mengabaikan saran mereka.

Selain serentetan pelecehan yang telah dilaporkan di seluruh AS, ada kemungkinan pemerintahan Trump akan melakukan pengawasan terhadap komunitas Muslim. Sejak 9/11, Muslim Amerika harus berurusan dengan berbagai ancaman, dari penangkapan massal saat serangan teror di New York dan Washington, skema pendaftaran bagi Muslim yang bukan warga negara AS melalui sistem NSEERS, hingga pengawasan New York Police Department (NYPD) terhadap masjid-masjid di New York dan New Jersey.

Muslim AS kini bertanya-tanya, apa lagi yang akan mereka hadapi berikutnya. "Ada semacam kecemasan mengenai apa yang akan pemerintah lakukan selanjutnya. Amerika telah terbangun dari emosi yang bermasalah dengan Muslim selama 15 tahun," ujar Moustafa Bayoumi, kolumnis The Guardian.       Oleh Fitriyan Zamzami, Fira Nursya'bani, ed: Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement