Ahad 12 Oct 2014 12:30 WIB

Bekerja Membangun Bangsa

Red: operator

Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin -- Berbagai peristiwa politik yang berkaitan secara langsung dengan pembangunan bangsa dan negara, sekarang maupun untuk masa depan, telah berlangsung dan terjadi pada 2014. Diawali dengan pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden, pelantikan seluruh anggota DPR, DPRD Tk 1, DPRD Tk 2 dan DPD, pemilihan pimpinan DPR, pimpinan DPD, dan pimpinan MPR, serta pada 20 Oktober 2014 nanti akan ada pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih (Jokowi-JK) yang akan dilakukan oleh ketua MPR. Dan, nanti akan diteruskan dengan pelantikan anggota kabinet yang akan membantu pemerintahan Jokowi-JK.

Tentu kita berharap para pimpinan formal bangsa dan negara ini akan bekerja secara kolektif kolegial dengan penuh kesungguhan, kejujuran, keikhlasan, dan kerja sama yang harmonis untuk membangun bangsa dan menyejahterakan masyarakat.

Kita semua harus sadar betul bahwa masyarakat dan bangsa kita kini sedang dihadapkan pada berbagai macam masalah kehidupan yang sangat kompleks, berat, berdimensi luas, dan berkaitan satu dengan lainnya.

Masalah pertama yang sangat krusial adalah masih tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Menurut data Human Development Report 2011 yang diterbitkan UNDP (United Nations Development Programme, dalam Beik, 2012), jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan multidimensi mencapai angka 48,35 juta jiwa.

Kemiskinan multidimensi ini adalah suatu konsep kemiskinan yang diukur dari tiga variabel utama, yaitu rendahnya tingkat pendapatan, sulitnya akses terhadap dunia pendidikan, dan sulitnya akses terhadap layanan kesehatan.

Akibatnya, hal ini berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia yang kita miliki. Apalagi, ditambah dengan ketidaktaatan terhadap ajaran agama. Mereka miskin secara materi dan rohani.

Dalam laporan tersebut, terungkap fakta bahwa posisi indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia mengalami pe nu runan dan berada pada posisi ke-124 di dunia. Masih kalah oleh Palestina yang berada pada posisi ke-114 maupun oleh Bos nia Herzegovina di urutan 74 dan Malaysia di urutan 61. Kon disi ini berpotensi menciptakan hambatan dalam upaya pembangunan ekonomi nasional.

Sedangkan, pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2014, terungkap bahwa jumlah penduduk miskin mencapai angka 28,55 juta jiwa de ngan garis kemiskinan menca pai angka Rp 92.520,00/ orang/ bulan atau sekitar Rp 9.750,00/ orang/hari atau 0,9 dolar AS/orang/hari.

Rendahnya angka garis kemiskinan ini menunjukkan bahwa data orang miskin yang dirilis BPS sesungguhnya merupakan data mengenai jumlah orang yang hidup di kerak kemiskinan atau the poorest of the poor.

Di sisi lain, jumlah orang superkaya baru yang membuka rekening di bank minimal Rp 10 miliar bertambah 20 ribu orang.

Artinya, ada dana minimal sebesar Rp 200 triliun yang dimiliki oleh 20 ribu orang saja.

Fakta ini menunjukkan bah wa angka kesenjangan pendapatan masih sangat tinggi. Bah kan, cenderung memburuk da lam kurun waktu 47 tahun terakhir. Data BPS menunjukkan bahwa Indeks Gini yang merupakan alat ukur kesenjangan, yang diperoleh Indonesia pada 1964 adalah 0,35, sementara Indeks Gini tahun 2011 justru naik ke angka 0,41.

Ini menunjukkan bahwa ada ketidakseimbangan pembagian kue ekonomi di antara 40 persen kelompok termiskin masyarakat dengan 20 persen kelompok terkaya masyarakat. Berarti ada sesuatu yang salah dengan kebijakan distribusi ekonomi yang kita lakukan selama ini. Dengan kata lain, ada paradoks yang sangat kuat antara pertumbuhan eko nomi dan pemerataan kekayaan dan kesejahteraan masyarakat.

Masalah kedua yang diha dapi oleh bangsa Indonesia ada lah masalah korupsi. Korupsi yang terjadi saat ini sudah pada fase kanker stadium empat. La poran International Transparency selalu menempatkan Indone sia pada posisi yang termasuk ke dalam negara terkorup. Kwik Kian Gie menyatakan bah wa kebocoran dana APBN bisa mencapai angka 30 persen setiap tahunnya.

Padahal, korupsi ini memiliki dampak buruk terhadap per ekonomian. Dampak buruk tersebut, antara lain, (Beik, 2012), perta ma, menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Chetwynd et al (2003), korupsi akan menghambat pertumbuhan investasi, baik investasi domestik maupun asing. Mereka mencontohkan fakta business failuredi Bulgaria yang mencapai angka 25 persen.

Maksudnya, satu dari empat perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa. Selanjutnya, terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari lima persen PDB dunia se tiap tahunnya hilang akibat ko rupsi.

Sedangkan, Uni Afrika me nyatakan bahwa benua tersebut kehilangan 25 persen PDB-nya setiap tahun juga akibat korupsi.

Yang juga tidak kalah me narik adalah riset yang dilakukan oleh Mauro (2002). Setelah me lakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa kenaikan dua poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala nol hingga 10) akan mendorong peningkatan investasi lebih dari em pat persen. Sedangkan, Podobnik et al (2008) menyimpulkan bahwa pada setiap kenaikan satu poin IPK, PDB per kapita akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen setelah melakukan kajian empiris terhadap perekonomian dunia pada 1999-2004.

Kedua, korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan. Sehingga, kualitas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat mengalami penurunan. Layanan publik cenderung menjadi ajang `pungli' terhadap rakyat. Akibatnya, rakyat merasakan bahwa segala urusan yang terkait dengan pemerintahan pasti berbiaya mahal. Begitu juga sebaliknya. Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Da voodi, dan Tiongson (2000) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan memperburuk layanan kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan kematian bayi mengalami peningkatan.

Ketiga, sebagai akibat dampak pertama dan kedua, korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Yang terjadi justru sebaliknya, korupsi akan meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan IPK sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin akan semakin melebar.

Keempat, korupsi juga berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak, baik individual maupun masyarakat, secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan, korupsi juga akan menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama.

Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity feeling). Inilah yang dalam bahasa Alquran, QS an-Nahl [16]: 112, dikatakan seba gai libaasal khauf wal juu' (pakaian ketakutan dan kelaparan).

Terkait dengan hal tersebut, Uslaner (2002, dalam Beik 2012) menemukan fakta bahwa negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat ketidakpercayaan dan kriminalitas yang tinggi pula.

Ada korelasi yang kuat di antara ketiganya. Tentu masih banyak persoalan besar lainnya yang dihadapi oleh bangsa ini selain masalah tersebut di atas, seperti masalah akhlak dan moral, terdapat kecenderungan masyarakat mudah bertentangan dan terpecah belah, saling menghujat dan menafikan, dan lain-lain.

Mudah-mudahan pemerintah sekarang (periode 2014-2019) dengan jajaran kabinetnya didukung oleh anggota MPR, DPR, serta DPD yang dinamis dan kritis, akan berusaha semaksimal mungkin membangun bangsa dan negara dan menyelesaikan masalah dengan arif dan bijak dengan memerhatikan potensi yang dimiliki oleh bangsa dan umat yang berdasarkan ajaran agama.

Keberhasilan ini memerlukan persyaratan yang paling utama, yaitu pemerintah/eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus bersih dan jujur, tidak korup, memiliki keberanian yang disertai dengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan terutama kepada Allah SWT. Wallahu a'lam bis shawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement