Sabtu 02 Aug 2014 13:00 WIB

Pengusaha Minta Harga Solar Naik

Red: operator

JAKARTA -Harga solar bersubsidi lebih baik dinaikkan secara bertahap daripada penjualannya dibatasi. Dampak atas kenaikan harga solar tidak akan sekomplikatif dampak penjualan solar yang dibatasi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indo nesia (Apindo) Anton J Supit mengatakan, pembatasan solar bersubsidi di Jakarta Pusat yang dimulai pada Jumat (1/8) hanya akan menimbulkan antrean di SPBU lain di luar wilayah Jakarta Pusat. "Daripada kendaraan antre demi mendapatkan solar murah, lebih baik harga dinaikkan Rp 500 atau Rp 1.000 secara bertahap,"

ujar Anton, di Jakarta, Jumat (1/8).

Menurutnya, pemerintah harus berani mengambil kebijakan untuk memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM). Apalagi, kebijakan pemangkasan subsidi BBM sudah diusulkan sejak dua tahun lalu. Namun, dia menilai, pemerintah tak punya keberanian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Prayogi/Republika

SPBU

Padahal, kata Anton, semakin cepat pemerintah mengurangi sub sidi BBM, semakin cepat masyarakat menikmati pembangunan infrastruktur yang lebih baik. Pemerintah juga harus mengambil peran aktif memberi penjelasan kepada masyarakat tentang subsidi BBM. Masyarakat harus mema hami subsidi BBM perlu dipangkas dan harga BBM perlu dinaikkan. Pemberian subsidi harus diberikan langsung ke masyarakat yang benar-benar membutuhkan. "Jangan seper ti sekarang, subsidi ikut dinikmati orang kaya," ujar Anton.

Sesuai Surat Edaran BPH Migas No 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, PT Pertamina sebagai salah satu badan usaha penyalur BBM bersubsidi mulai mengimplementasikan pembatasan BBM bersubsidi, khususnya solar, per 1 Agustus 2014.

Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir mengatakan, UU No 12 Tahun 2014 tentang APBN Perubahan 2014 telah disahkan. Dalam APBN Perubah an 2014, volume kuota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta kiloliter (kl) menjadi 46 juta kl. Untuk menjalankan amanat UU tersebut, BPH Migas telah mengeluarkan surat edaran tentang pembatasan solar dan Premium agar kuota 46 juta kl bisa cukup hingga akhir 2014.

"Pertamina menjalankan kebijakan tersebut yang dimulai pada 1 Agustus 2014. Seluruh SPBU di Jakarta Pusat tidak lagi

menjual solar ber subsidi," kata Ali. Mulai 4 Agustus 2014, waktu penjualan solar bersubsidi di seluruh SPBU di Jawa, Sumatra, Kaliman tan, dan Bali akan dibatasi, dimulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00 untuk cluster tertentu.

Penentuan clusterdifokuskan untuk kawasan industri, pertambangan, perkebunan, dan wilayah yang dekat dengan pelabuhan yang rawan penyalahgunaan solar bersubsidi. SPBU yang terletak di jalur utama distribusi logistik tidak dilakukan pembatasan waktu penjualan solar.

Tidak hanya solar, terhitung mulai 6 Agustus 2014, se luruh SPBU yang berlokasi di jalan tol tidak akan menjual Premium bersubsidi dan ha nya boleh menjual Pertamax. Sampai saat ini, jumlah SPBU di jalan tol mencapai 29 unit. Dari jumlah itu, 27 unit SPBU ada di wilayah Marketing Ope ration Region III (Jawa ba gian barat) dan dua unit SP BU di wilayah Marketing Ope ration Region V (Jawa Timur).

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai, pem batasan penjualan solar bersubsidi di Jakarta Pusat hanyalah kamuflase pemerintah agar tetap populis di mata masyarakat. "Jika memang har ga BBM perlu naik, lebih baik dinaikkan ketimbang penjualannya dibatasi," katanya.

Kebijakan pembatasan pen jualan solar, seperti di Indonesia, tidak pernah ditemukan di negara lain. Karena itu, kata Tulus, YLKI melihat kebijakan itu tidak solutif.

Masalah BBM adalah masalah makro sehingga kebijakan yang diambil juga harusnya bersifat makro.Saat ini, penikmat BBM ber subsidi kebanyakan berasal dari kalangan mampu.

Sedangkan, 30 juta rakyat miskin Indonesia yang tidak memiliki motor dan mobil tidak tersentuh subsidi. "Kalau pemerintah memang berniat menyejahterakan masyarakat kelas bawah, harusnya subsidi BBM dipangkas dan dialihkan ke sektor lain yang lebih vital," katanya.

Direktur Eksekutif Centre for Energy and Strategic Resources Indonesia (Cesri) Prima Mulyasari Agustini mengatakan, kebijakan pembatasan solar bersubsidi hanya akan memindahkan permintaan secara geografis. Konsumen yang biasa membeli di wilayah Jakarta Pusat akan beralih ke wilayah lain. Pembatasan itu tak mendorong penghematan BBM dalam jangka menengah dan panjang.

Menurut Prima, konsumen tertinggi solar berada di Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Di wilayah ini, truk biasa mengisi solar hingga 200 liter setiap kali isi. Pembatasan pen jualan solar bersubsidi semestinya serentak dilakukan, bukan hanya memindahkan konsumen dari satu titik ke titik lainnya.

Komitmen pemerintah untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi semestinya bersamaan dengan kesepakatan lain antara pemerintah dan rakyat. Prima memberi contoh, subsidi boleh dikurangi, tapi kilang minyak dibangun bertahap dengan jangka waktu tertentu.  rep:Aldian Wahyu Ramadhan/Elba Damhuric62/c88 ed:eh ismail

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement