Selasa 10 Jan 2017 15:00 WIB

CSR Abaikan Pencandu Narkoba

Red:

Sejauh ini tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di Indonesia lebih banyak diarahkan  kepada bantuan bencana, pendidikan, kesehatan, ataupun lingkungan hidup. Hal ini memang sangat penting karena program tersebut langsung menyentuh masyarakat umum atau warga di sekitar perusahaan.

Sayangnya, program CSR perusahaan belum pernah menyentuh pemulihan/rehabilitas pencandu narkoba. Padahal, jumlah pencandu ini setiap tahun semakin bertambah dan banyak di antara mereka yang berlatar belakang ekonomi rendah yang ingin juga direhabilitasi.

 

Pengamat corporate social responsibility (CSR) La Tofi mengakui bahwa pemberian bantuan kepada pencandu narkoba yang kurang mampu untuk dapat bisa direhabilitasi masih kurang. Sebab, bantuan ini dinilai menjadi bagian dari tugas negara.

 

"Karena nggak terkait langsung, perusahaan biasanya yang terkait dengan stakeholders. Perusahaan bisa saja mengambil upaya itu setelah diminta langsung oleh pemda atau pemerintah pusat. Baru mereka terjun," kata La Tofi.

 

Ia menjelaskan, untuk pemberian bantuan kepada mereka yang ingin direhabilitasi, memang bisa saja dilakukan oleh sebuah perusahaan. Tetapi, biasanya perusahaan mengetahui diperlukannya bantuan, berdasarkan informasi yang diperoleh, baik dari pemerintah daerah maupun pusat.

 

Biasanya sebelum melakukan program tanggung jawab sosial, perusahaan terlebih dahulu mengadakan pemetaan sosial bagi mereka yang akan mendapatkan bantuan. Tetapi, untuk pemberian bantuan rehabilitasi, masih banyak yang tidak sesuai.

 

Sebagai contoh, perusahaan industri, maka pertama kali orang-orang yang mendapatkan bantuan adalah mereka yang bermukim di sekitar industri tersebut. Kemudian, siapa saja yang paling berpengaruh pada bisnis mereka dan konsumennya, yang merupakan stakeholders perusahaan.

 

Sebenarnya, lanjut La Tofi, perusahaan farmasi bisa memungkinkan untuk memberikan bantuan ataupun program sosial bagi mereka yang membutuhkan di panti rehabilitas narkoba. Sebab, perusahaan tersebut memproduksi obat-obatan. Apabila faktanya para pencandu itu tidak mampu, kemudian negara tidak memiliki kekuatan untuk menjangkau para mantan pencandu narkoba tersebut, maka perusahaan farmasi bisa masuk ke sana melalui program CSR.

 

"Farmasi ini berkewajiban karena mereka menghasilkan obat-obatan. Maka, tanggung jawab sosial memberikan rehabilitasi. Para pencandu itu butuh obat, pelayanan, dan terapi. Itu bisa," ujar pimpinan lembaga La Tofi School of CSR ini.

 

Ia mengungkapkan, sejauh ini belum pernah mendengar adanya program CSR menyasar mantan para pencandu yang direhabilitasi. Sebab, narkoba menjadi persoalan hukum dan kemanusiaan. Rehabilitasi, kata dia, diambil oleh negara. Karena itu, ada panti rehabilitasi korban narkotika yang dilakukan oleh BNN dan Kementerian Sosial. Dua pihak tersebut memiliki kewajiban untuk menangani mereka.

 

"Lembaga tersebut boleh menerima sejauh mereka tidak mampu, misalnya, negara hanya mampu menangani 100 penderita di satu panti. Kemudian, lembaga lain menambah kemampuan 150 karena kebutuhan meningkat. Mereka bisa minta bantuan kepada pihak lain," kata dia.

Disebutkan, sejauh ini tanggung jawab sosial perusahaan memang lebih banyak dialokasikan kepada pendidikan, lingkungan, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ia mengatakan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi trendsetter memiliki Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).

 

Kemitraan tersebut memberikan kredit bagi para pelaku UMKM, sedangkan bina lingkungan merupakan sumbangan guna kehidupan sosial masyarakat. Selain PKBL, BUMN juga memiliki divisi CSR dari dana sosial perusahaan yang berdasar pada pemetaan sosial yang dibutuhkan.

 

Sementara, Head of Public Relations Astra International Yulian Warman mengatakan, Astra memiliki empat pilar di bidang tanggung jawab sosial perusahaan. Keempatnya adalah pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan pemberdayaan UKM. Fokus pada keempat kebijakan tersebut berada di Astra Internasional yang dijalankan oleh 208 perusahaan.

 

Selain itu, program CSR juga dibantu dengan sembilan yayasan, yang fokusnya sebagian besar ada pada pendidikan. Astra memilih pendidikan karena sebagai jembatan menuju kemajuan masyarakat. Lalu kesehatan juga menjadi hal yang perlu didukung, sedangkan perihal lingkungan, yakni bagi mereka yang berada dekat dengan kantor Astra karena keberadaan perusahaan berada dari Sabang sampai Marauke.

 

Perihal program ataupun bantuan kepada mereka yang direhabilitasi, kata Yulian, memang bisa masuk ke dalam fokus kesehatan. "Ada unsur kesehatan kita coba, mungkin bisa. Kalaupun tidak ada di luar itu, mungkin bisalah company-company lain. Kalau sekarang itu di kesehatan ibu dan anak, pedidikan kita juga ikut PAUD. Kita juga punya puskesmas-puskesmas binaan," ungkap Yulian.

 

Sementara, di luar empat pilar yang menjadi fokus Astra, mereka turut memberikan bantuan yang tak terduga bagi mereka yang membutuhkan, seperti bencana alam, contohnya yang baru terjadi di Bima. Yulian mengakui, bantuan CSR terbesar Astra yang diberikan saat terjadi bencana tsunami 2004 lalu. Pemberian yang disampaikan bisa mencapai total Rp 88 miliar.        rep: Rossi Handayani, ed: Khoirul Azwar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement