Ahad 13 Nov 2016 06:00 WIB

Aksi Damai Dalam Bingkai Aqidah dan Akhlak

KH Didin Hafiduddin
Foto: Republika
KH Didin Hafiduddin

REPUBLIKA.CO.ID, Aksi damai unjuk rasa berbagai elemen umat Islam di Jakarta pada Jumat 4 November 2016/4 Shafar 1438 H dalam rangka menuntut proses hukum terkait dengan dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) berlangsung dengan damai dan tertib dalam bingkai aqidah dan akhlak islami. Suasana aksi unjuk rasa yang bagaikan gelombang besar itu terekam dalam media dan berita.

Peristiwa hari Jumat itu menunjukkan bahwa segenap elemen umat Islam di Tanah Air menghormati asas negara hukum. Karena yang didesak kepada pemerintah hanyalah proses penegakan hukum terhadap Ahok. Permintaan maaf kepada umat Islam dari yang bersangkutan, meski dilakukan sambil lalu, tentu patut dihargai, namun bukan berarti meniadakan proses hukum yang mesti berjalan atau sedang berjalan.

Jutaan mata manusia menyaksikan jutaan umat Islam dan massa organisasi Islam pada hari itu turun ke jalan di J akarta. Aksi serupa juga terjadi di kota-kota lain seluruh Indonsia. Umat Islam berunjuk rasa secara damai, tertib dan bermartabat. Aksi kolektif umat Islam yang dibingkai oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) - MUI bukanlah aksi makar atau konspirasi politik, melainkan penyampaian aspirasi warga negara yang dijamin oleh hukum dan konstitusi negara kita. Sungguh naif dan tidak berdasar sama sekali andaikata aksi demonstrasi tanggal 4 November itu dihubungkan dengan kepentingan politik menjelang Pilkada DKI dan sebagainya.

Para peserta aksi damai datang dari berbagai pelosok wilayah dengan biaya sendiri tanpa ada yang merekayasa selain panggilan aqidah islamiyah. Keyakinan sebagai muslim terhadap kebenaran dan kesucian Alquran-lah yang menggerakkan langkah mereka. Umat Islam tak pernah mengganggu umat beragama lain, apalagi melecehkan simbol-simbol tuhan atau kitab suci mereka. Islam hadir untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, namun ketika agama Islam dinistakan sangat wajar umat Islam menuntut keadilan.

Sekalipun massa merasa kecewa karena presiden yang diharapkan menerima perwakilan peserta demo, tidak berada di istana, tapi mereka tidak melampiaskan kekecewaan melalui tindakan anarkis. Timbulnya kericuhan di penghujung aksi unjuk rasa perlu diusut siapa dalangnya yang dengan sengaja memprovokasi tindakan kekerasan. Jangan pula suatu organisasi mahasiswa Islam tertentu seolah dicitrakan menjadi tumbal atau kambing hitam disebabkan tidak ditemukannya aktor intelektual kericuhan yang sebenarnya.

Pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam hal ini sangat melegakan kita semua. Beliau menegaskan bahwa kericuhan dalam unjuk rasa 4 November 2016 kemarin bukan dilakukan para pendemo. Pelakunya adalah orang-orang di luar barisan pengunjuk rasa yang memang sengaja ingin membuat suasana kacau, ujar Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

Sejak massa bergerak dari Masjid Istiqlal menuju Istana Merdeka seusai shalat Jumat tidak terjadi keributan. Dengan kata lain, sangat mungkin ada pihak yang ingin menciptakan kesan unjuk rasa umat Islam anarkistis sehingga terjadi pengalihan isu. Sangat disesalkan dalam aksi damai tersebut jatuh korban karena penggunaan gas air mata dan peluru karet.

Pemerintah dan masyarakat yang tidak ikut aksi demo perlu mensikapi secara jernih bahwa reaksi massif umat Islam yang bersifat lintas organisasi dan meluas di berbagai daerah tidak pernah didesain. Reaksi umat Islam timbul secara meluas karena ada aksi yang mendahuluinya. Peristiwa yang terjadi adalah karena proses hukum terhadap Ahok yang dinilai lambat. Kelambatan proses hukum di era yang serba transparan ini menimbulkan berbagai dugaan dan spekulasi.

Setiap orang dalam kedudukan apa pun adalah sama di hadapan hokum dan wajib menjunjung tinggi hukum. Republik Indonesia didirikan sejak 1945 sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan. Oleh karena itu tidak boleh ada orang atau golongan yang berada di atas hukum atau kebal terhadap hukum. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, rukun dan damai dalam naungan persatuan dan kesatuan membutuhkan tegaknya supremasi hukum dan keadilan.

Sebuah perumpamaan pernah disampaikan oleh almarhum Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, seorang pejuang hukum Islam dan mantan Ketua Muda Mahkamah Agung sebagai berikut, “Hukum itu dapat disamakan dengan udara bagi hidup manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, yang kalau udara itu tidak lancar dan tidak bersih, masyarakat akan merasakan tidak enak dan keresahan akan timbul.”

Dalam kaitan ini pandangan K.H.A. Hasyim Muzadi, anggota Wantimpres, sangat layak dicermati, “Di kalangan umat Islam seluruh dunia ada tiga hal yang tidak boleh disinggung atau direndahkan, yakni Allah SWT, Rasulullah SAW, dan Kitab Suci Al Quran. Apabila salah satu dari tiga hal itu, apalagi ketiganya disinggung dan direndahkan pasti mendapat reaksi spontan dari umat Islam tanpa disuruh siapa pun. Reaksi tersebut akan segera meluas tanpa bisa dibatasi oleh sekat-sekat organisasi, partai dan birokrasi.”

Harapan umat kepada presiden sangat wajar dan realistis, yaitu sesuai janji beliau bahwa proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaya Purnama akan dilakukan dengan tegas dan transparan serta tidak akan melindungi Ahok karena sudah masuk pada proses hukum. Umat Islam menghendaki tegaknya supremasi hukum di negeri ini.

Sungguh risiko sosial, risiko persatuan bangsa, terlalu besar untuk dipertaruhkan andaikan kasus dugaan penistaan agama ini dibiarkan atau digantung tanpa penyelesaian tuntas. Dalam kasus kemuliaan dan kesucian Alquran yang diusik, terlepas dari ada atau tidaknya niat jahat dari pelakunya, para ulama dan umat Islam berharap hukum ditegakkan menurut semestinya.

Sejauh ini upaya menggiring opini bahwa Ahok tidak menistakan agama kelihatannya terus dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan, secara terselubung ataupun terang-terangan. Dalam menyikapi kasus ini juga ada kalangan umat atau tokoh yang memiliki pendapat berbeda dengan mainstream (arus utama) umat Islam mengenai dugaan penistaan agama oleh Ahok. Karena perbedaan persepsi, penafsiran atau sudut pandang tidak selayaknya sesama umat Islam menghujat atau merendahkan terhadap pribadi atau institusi.

Terkait pernyataan sikap keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI)/11 Oktober 2016, soal kasus penistaan agama oleh Ahok perlu ditegaskan bahwa sikap dan pendapat tersebut sudah didiskusikan secara matang dan mendalam sebelum disampaikan kepada publik. MUI adalah organisasi independen yang menghendaki kemaslahatan umat dan bangsa. Bahkan sikap keagamaan ini lebih tinggi kedudukannya daripada fatwa MUI.

Dewan Pertimbangan MUI (yang keanggotaannya terdiri dari 70 ketua umum ormas-ormas Islam dan 29 tokoh-tokoh perorangan) melalui pernyataan pers pekan ini (Rabu, 09 Nopember 2016) antara lain, memperkuat sikap keagamaan Dewan Pimpinan MUI tanggal 11 Oktober 2016 tentang penistaan agama, dan mendukung pernyataan sikap PBNU dan PP Muhammadiyah yang merupakan pendapat dan sikap sesuai ajaran Islam berdasarkan Alquran dan Al Hadits. Pendapat keagamaan tersebut dikeluarkan sebagai kewajiban para ulama dalam menjaga agama dan mendorong kehidupan duniawi yang tertib, harmonis, penuh maslahat (haratsat al-din wa siyasat al-dunya) serta memelihara kerukunan hidup antarumat beragama demi persatuan dan kesatuan bangsa. Menyerukan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk tidak terpancing dengan isu-isu yang menyesatkan dan provokatif serta memecah belah kehidupan umat dan bangsa Indonesia.

Pemerintah, termasuk TNI dan Polri, sejauh ini telah cukup memahami aspirasi sebagian besar umat Islam yang mendukung tugas penegak hukum untuk menjalankan proses hukum yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya. Sejarah akan mencatat dan Allah Maha Tahu apa saja yang kita lakukan.

Aksi damai umat Islam atau ada yang menyebut “Aksi Bela Islam Jilid II” tanggal 4 November 2016 membawa pesan moral kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa kepentingan negara, kepentingan tegaknya keadilan, harus ditempatkan di atas kepentingan seseorang atau suatu golongan. Sebuah kata bijak menyatakan, “hukum harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh”.

Semoga Allah SWT melindungi bangsa dan negara Indonesia.

Wallahu a’lam bisshawab.

 

 

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement