Ahad 11 Sep 2016 07:03 WIB

Dimensi Sosial Ibadah Haji

KH Didin Hafiduddin
Foto: Republika
KH Didin Hafiduddin

REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar, setiap tahun memberangkatkan jamaah haji paling banyak, jumlahnya mungkin terbesar dibanding negara-negara Muslim lainnya. Perhatian terhadap masalah perhajian yang sesuai Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji (UU No 13 Tahun 2008) menjadikan pemerintah melalui Menteri Agama, diharapkan tidak hanya terfokus lebih banyak pada aspek teknis operasional, keuangan haji, pelayanan dan perlindungan jamaah haji, tetapi mestinya secara proporsional memperhatikan aspek bimbingan ibadah dan implementasi nilai-nilai kemabruran haji itu sendiri sebagai masalah yang sangat mendasar dan sangat penting.

Kewajiban menunaikan ibadah haji bagi umat Islam yang mampu tercantum di dalam Alquran, “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah (sebagian daripadanya) dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS Al-Hajj [22]: 27-28).

Pada ayat lain, “...mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.” (QS Ali ‘Imran [3]: 97).

Semua ibadah yang disyariatkan dalam Islam pada prinsipnya mendorong umat Islam agar menggunakan ilmu, sehingga ibadah itu terencana dan terlaksana dengan baik dan tertib, juga supaya nilai-nilai ibadah tersebut dapat dihayati secara baik, sehingga berimplikasi dalam dimensi kehidupan sosial.

Seorang cendekiawan Muslim pernah menulis, “Wahai Haji! Jadikanlah negerimu sebuah negeri yang aman, karena engkau telah pulang dari tanah Haram; Jadikanlah zamanmu zaman yang mulia seolah-olah engkau tetap berada di dalam keadaan Ihram; Jadikanlah dunia ini seakan menjadi masjid suci karena engkau telah pulang dari Masjid al-Haram; karena seharusnya seluruh permukaan bumi ini merupakan masjid Allah. Meski yang engkau saksikan sering tidak demikian!” Pernyataan ini sejatinya mengingatkan bahwa ibadah haji bukanlah akhir tugas seorang Muslim dan bukan pula perjalanan terakhirnya.

Dengan demikian, tidak selayaknya seorang Muslim sengaja menunda-nunda menunaikan ibadah haji sampai usia tua, kecuali bagi yang belum memiliki kemampuan untuk pergi haji atau belum mendapat kuota haji. Kita bersyukur belakangan ini semakin tumbuh kesadaran di kalangan umat Islam yang berusia muda dan produktif untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini.

Setiap calon haji haruslah berangkat ke Tanah Suci dengan niat yang ikhlas, yakni niat beribadah hanya kepada Allah SWT dan menjalankan sunah Rasulullah SAW. Ibadah haji haruslah dilaksanakan Lillahi Ta’ala, bukan untuk tujuan lain (perhatikan QS. Al-Bayyinah [98] ayat 5). Selama berada di Makkah dan sekitarnya, seluruh jamaah haji diharapkan tetap menikmati kesyahduan dan kekhusyukan jiwa dalam beribadah haji, meskipun dewasa ini sudah banyak fasilitas modern yang canggih dan terkadang melemahkan fokus ibadah.

Haji disebut sebagai “puncak ibadah” dalam Islam dan syiar Islam yang luar biasa. Dimensi ibadah haji yang perlu dipahami tidak hanya terfokus pada ritual manasiknya semata, tapi juga substansi, hakikat dan pesan dari ibadah yang diperintahkan Allah kepada manusia. Kemabruran haji wajib diupayakan dan dijaga sepanjang hidup.

Pasca haji seorang muslim dituntut untuk berubah menjadi lebih baik dan menjadi agen perubahan di lingkungannya (ان يكون أحسن من قبل وأن يكون قدوة أهل بلده). Kecintaan kepada Islam, ketaatan beribadah, kualitas kerja, mencari rezeki yang halal, kejujuran, kerendahan hati, kepekaan sosial, kedermawanan serta perilaku utama lainnya harus tercermin dalam karakter seorang yang sudah menunaikan haji.

Sabda Rasulullah Saw, “Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan atasmu untuk haji. Maka berhajilah kalian. Dan siapa yang berhaji karena Allah, lalu tidak berkata atau berbuat keji dan fasiq, ia akan keluar dari semua dosa-dosanya bagaikan pada saat dilahirkan oleh ibunya….”(HR. Bukhari dan Muslim).

Seseorang yang telah meminta ampun kepada Allah saat wukuf di Arafah dengan pakaian ihram tidak selayaknya memelihara sifat angkuh dan sombong terhadap sesama manusia, tidak sepantasnya hanyut dalam arus budaya materialisme, individualisme dan hedonisme, apalagi melakukan korupsi, terlibat suap dan kolusi. Ketaatan seorang muslim dalam melaksanakan ibadah yang bersifat ritual, seharusnya seiring dengan ketaatan untuk memenuhi kewajiban sosial dalam hubungan antar-manusia. Seluruh rangkaian ibadah yang dilakukan di tanah suci pada intinya mengandung pesan moral untuk membina keshalehan sosial.

Dalam QS An Nahl [16] ayat 90 terdapat tiga perintah yang perlu ditegakkan kalau kita ingin membangun kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang baik, yaitu adil, ihsan, dan persaudaraan. Selanjutnya diungkapkan pula tiga hal merusak yang harus dijauhi karena akan menghancurkan tatanan kehidupan sosial, yaitu fahsya’ (perbuatan keji), mungkar dan zalim. Menafsirkan ayat di atas, salah seorang sahabat nabi yaitu Ibnu Mas’ud r.a. menyatakan ayat tersebut mencakup semua perintah dan larangan di dalam Islam. Semua perbuatan baik yang diperintahkan, pada dasarnya akan kembali kepada tiga hal tadi, dan semua yang dilarang akan kembali kepada tiga perbuatan yang merusak tersebut.

Seorang muslim yang memahami dan menghayati makna ibadah haji akan selalu menjaga hati dari sifat-sifat tercela, termasuk sifat yang dikategorikan sebagai sifat asosial. Sejatinya umat Islam yang sudah haji menjadi manusia yang bermutu daripada sebelumnya. Pakaian ihram yang dikenakan oleh jamaah haji membawa pesan bahwa semua muslim adalah sama di mata Allah. Tawaf di Ka’bah, Sa’i, dan melontar Jumrah sebanyak tujuh kali memberi nilai pendidikan bahwa umat Islam merupakan umat yang dinamis dan wajib memiliki sifat jujur. Bayangkan, tidak ada orang yang tahu persis bahwa seseorang telah genap hitungan tawaf, Sa’i-nya tujuh kali atau melontar Jumrah sesuai jumlah yang ditentukan, kecuali hanya dirinya sendiri dan Allah. Haji memberi pendidikan tentang karakter kejujuran yang luar biasa.

Seorang ulama dan cendekiawan dunia Islam Prof Dr Khursid Ahmad menyatakan, ”Islam bukanlah sebuah agama dalam pengertian umum yang sering disalah-pahami orang. Islam bukanlah agama yang hanya menyangkut kehidupan pribadi manusia. Tetapi, Islam adalah cara hidup total yang menyangkut seluruh bidang kehidupan, baik pribadi maupun masyarakat, baik materiil maupun moral, baik ekonomi maupun politik, baik hukum maupun budaya, baik nasional maupun internasional.”

Semoga jamaah haji Indonesia dan jamaah haji dari seluruh negara yang beribadah di tanah suci pada tahun ini memperoleh haji yang mabrur. Haji yang membawa berkah bagi pelakunya dan berkah bagi masyarakat di sekelilingnya. Wallahu a’lam bisshawab.

 

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement