Sabtu 04 Feb 2017 12:47 WIB

Pemandi Jenazah

jenazah. Ilustrasi
Foto:

Tatkala Taufik, suami Silvana, meninggal setahun yang lalu. Pak Madun menyuruh Ardi, adik almarhum, agar menyiapkan sejumlah uang untuk orang yang memandikan mayat kakaknya.

Ketua RW tahu keluarga almarhum termasuk orang bahil. Sering menunda-nunda hak orang lain. Pengusaha tas itu bukan sekali dua kali terlambat membayar upah kepada pekerjanya. Para pekerja di tempat Taufik seringkali berhutang di warung ketua RW. Jika mereka berhutang di warung sembako Pak Madun alasan yang dikemukakan upahnya belum dibayar. Setiap Idul Adha tetangganya yang satu ini tak pernah memotong hewan kurban. Padahal mereka sudah wajib berkurban.

Namun, rupa-rupanya apa yang dilakukan ketua RW dianggap salah oleh Silvana, karena menyuruh memberi upah kepada Bahrum. Meskipun demikian Silvana tak berani secara terang-terangan menuduh ketua RW keliru. Akhirnya kesalahan itu dilemparkan kepada Bahrum. Menganggap Bahrum sebagai penjual jasa memandikan mayat. Dan, percakapan bisik-bisik yang didengar Dahlia itu diceritakan lagi kepada suaminya.

"Masa, kita dianggap memanfaatkan kesusahan orang lain, lantaran keluarga yang mendapat musibah harus membayar upah kepada orang yang memandikan jenazahnya," lanjut Dahlia.

Bahrum masih tetap diam.

"Jadi, saya tidak yakin kalau Pak Ali, Pak Farhan, dan Pak Mukhlisin, tidak mau memandikan mayat semata-mata karena takut, tidak tega, atau merasa jijik. Mereka tak mau memandikan mayat karena tidak ingin dianggap sebagai orang yang memanfaatkan musibah yang dialami orang lain," tambah Dahlia.

"Kenapa penilaian masyarakat kita terhadap pemandi jenazah demikian, Pak? Padahal semua orang tahu Pak Taufik meninggal setelah dua minggu dirawat di rumah sakit. Tetapi, kenapa mereka tidak mempersoalkan biaya rumah sakit yang tinggi, yang mencapai puluhan juta rupiah?"

Biaya perawatan Taufik di rumah sakit memang hampir tiga puluh juta rupiah, meski akhirnya pulang sudah menjadi mayat.

"Benar ya, Pak. Kalau ajal sudah tiba waktunya manusia tidak bisa mengelak lagi," kata Yatman, ketika melayat Taufik.

"Betul kan, Pak?" Dahlia kembali membuyarkan lamunan suaminya, "Orang tak pernah mempersoalkan biaya rumah sakit yang tinggi. Kendati si pasien tidak tertolong nyawanya."

Bahrum mengangguk.

"Nah, kalau Bapak tidak memandikan mayat lagi, masyarakat di sini biar tahu bahwa memandikan mayat bukan pekerjaan gampang. Artinya, tidak semua orang mau  melakukannya. Jika tidak, kapan masyarakat akan menghargai jasa orang seperti Bapak?"

"Yuk kita berangkat, Pak," Nunung menghentikan kalimat yang belum selesai diucapkan ibunya.

Tiba-tiba anak ketiga pasangan Bahrum-Dahlia, yang masih duduk di kelas satu SMP itu, sudah berdiri di sana. Siap untuk berangkat sekolah. Seperti biasanya setiap pagi, sebelum berangkat ngojek, Bahrum mengantar anaknya sekolah.

Bahrum menghabiskan teh yang ada di hadapannya. Lalu ia bersiap-siap untuk berangkat. Mengantar anaknya. Dahlia hanya berdiri mematung di depan pintu setelah suami dan anaknya tidak terlihat. Entah apa yang sedang dipikirkan perempuan berkulit sawo matang itu.

 

Humam S Chudori 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement