Ahad 29 Jan 2017 08:46 WIB

Waktu Pun Berhenti

Wisatawan menikmati senja di Pantai Patuno, Wangi-Wangi, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Foto:

Senja ini seperti senja yang dulu-dulu. Tak berubah.

Pohon kelapa di pulau seberang seperti menari ditiup angin. Beberapa perahu nelayan tertambat di pantai. Burung camar beterbangan mencari sarangnya. Sedang gedebur ombak memecah pantai. Mentari bergerak lamban namun pasti, menuju peraduannya. Warna laut pun mulai orange, seperti warna langit. Iwan duduk di salah satu batu besar, di pantai. Matanya menatap jauh pada keindahan senja.

"Belum berubah, kan?"

Suara itu mengejutkan Iwan. Suara yang amat dikenalnya, namun sudah lama tak pernah didengarnya.

"Tis," respon Iwan yang tak dapat menyembunyikan ketersirapan darahnya.

Tisna menjawab dengan senyum khasnya. Menyejukkan. Tak ada yang berubah pada Tisna, kecuali ada gurat-gurat di dahinya. Matanya yang bundar tetap memancarkan cahaya bening. Sungguh menyejukkan hati.

"Tak enak dilihat orang," ujar Iwan kemudian.

"Aku hanya ingin minta maaf," sahut Tisna.

Iwan diam.

"Aku salah," tuturnya, "Sejak peristiwa itu, sekolahku tak beres. Bahkan pindah ke Padang pun tak dapat membendung kehancuran hatiku. Hari demi hari semakin tak menentu."

Iwan mendengarkan.

"Dua kali aku tak naik kelas," ujar Tisna sambil menatap ke tengah laut.

Iwan melihat mata Tisna berkaca-kaca. Namun suaranya masih terdengar bening.

"Hingga suatu hari aku terjerumus. Aku diperkosa," nada Tisna pun mulai sendu. "Aku hamil. Memang, akhirnya Si Keparat itu menikahiku. Aku pasrah saja."

Iwan kaget. Berita yang dia terima, Tisna menikah tanpa masalah. Dan sungguh di luar dugaan Iwan, Tisna yang tak pernah tinggal shalatnya, akan mengalami nasib begitu.

Senja mulai bergulir. Mentari tampak timbul tenggelam dipermainkan ombak di horizon sana.

"Aku mencoba bertahan, hingga lahir anak keduaku. Namun, pada tahun ke lima perkawinan kami, dia menceraikanku," ujar Tisna terbata.

Iwan mengeluarkan saputangan dari sakunya dan memberikan pada Tisna. Tisna menghapus tumpahan bendungan air mata.

"Ah, aku terlalu banyak cerita tentang perjalanan hidupku. Bagaimana denganmu? Tampaknya engkau bahagia."

"Aku?" respons Iwan kaget.

"Aku ingin mendengarnya."

"Hidupku layaknya panggung sandiwara. Pertunjukan harus berlangsung."

"Sungguh beruntung perempuan itu."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement