Sabtu 28 Jan 2017 10:00 WIB

Kucing Tetangga

Kucing (ilustrasi)
Foto:

Berkerumunnya kucing kampung Bu Idris di depan rumah kami, karena kami "memelihara" banyak tikus. Siang-malam loteng rumah kami sering riuh-rendah oleh lalu-lalang dan cericit tikus yang berkeliaran mencari makanan. Apa saja mereka ganyang. Kaleng roti biskuit sering mampu mereka gulingkan ke lantai, dan isinya mereka ludesi.

Sialnya, mereka kian pintar membedakan santapan yang aman dengan yang membawa ajal. Makanan beracun hampir tak mereka sentuh, kecuali anak-anaknya yang kurang berpengalaman. Sedang tikus biang dan pejantan segera membiakkan generasi baru.

"Jangan-jangan ini tikus yang lari dari rumah Bu Idris, atau yang ia kirim," anakku, Isna, meledek ibunya.

"Husss!" sergahku.

"Sebenarnya, mereka kemari karena merasa dianaktirikan dengan kucing-kucing impor itu," kata istriku.

"Itu karena kita tidak memelihara kucing," kata Ita, adik Isna.

"Memelihara kucing? Amit-amit deh," sungut ibunya.

Tikus-tikus pun mengamuk. Karena semua makanan, mentah dan matang, kami jejalkan ke kulkas, mereka kini memakan karpet, sandal karet, sepatu kulit, dan apa saja. Pralon rompal, membuat air tanah macet, dan air PAM melimpahi rumah. Singkong dan ubi di kebun kecil di samping rumah juga tumpas. Istriku berhenti mengumpati; ia mulai putus asa.

Rekan-rekanku di kantor, yang aku ceritai, menyalahkan kelemahanku -- istriku lebih dominan.

"Pertama-tama, kau harus tertibkan istrimu, baru tikus," Maulana mengajukan resep. "Rumahmu penuh tikus, tapi istrimu membenci kucing, padahal kucing pemangsa tikus."

"Katamu, lahan rumahmu itu bekas kebun singkong dan ubi," kata Johan yang sering ke rumahku. "Aku tahu di sebelahnya sawah, yang diuruk untuk pemukiman baru. Tahu kau kenapa rumahmu dikerjai tikus?" katanya.

Teman-teman tersenyum menunggu ketajaman analitis Johan yang terkenal itu. "Tadinya tikus-tikus menetap dan mencari makan di lahan rumah itu sebelum rumahmu berdiri," simpul Marjohan.

"Mengapa sekarang?" protesku.

"Ketika rumahmu dibangun, mereka mengungsi ke sawah, dan memangsa padi atau palawija. Sedang sekarang kan sawahnya sudah diuruk untuk bakal pemukiman."

"Tapi, kenapa rumahku?" protesku.

"Karena istrimu itu! Ia mempersonanongratakan kucing-kucing itu," kata mereka serentak.

Aku termenung. Johan memintaku memeriksa saluran air rumah. "Apakah airnya mengalir ke sawah?" tanyanya.

"Memang. Sejak gorong-gorong depan rumah suka meluap di musim hujan, kami membuka saluran air ke sawah."

"Ya," sela Johan. "Dari situlah tikus-tikus itu leluasa keluar-masuk. Tutup saluran itu, alirkan air limbah kembali ke gorong-gorong. Dan biarkan kucing-kucing itu melakukan 'operasi jaring merah'."

Aku mengangguk pelan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement