Ahad 22 Jan 2017 16:30 WIB

Dua Lembar Uang Seratus Ribuan

Karyawan Bank Indonesia memerlihatkan uang kertas pecahan Rp. 100.000 baru (atas) dan lama (bawah) usai launching uang tersebut di Bank Indonesia,Jakarta, Senin (18/8). (Republika/Prayogi)
Foto:

Hubunganku dengan ayah, bisa dikata cukup unik. Aku anak kedua dari tiga bersaudara yang tidak ubahnya anak tiri. Ah, mungkin aku cukup sentimentil untuk menyebut anak tiri. Tetapi, aku tak memiliki ungkapan lain untuk menyebut hubungan musykilku dengan ayah. Mengharap perhatiannya, aku seperti menanti kematian saja. Aku tak berdaya.

Mungkin ayah tak salah. Dari cerita orang-orang kampung, dari pernikahan ayah dengan ibu memang tak segera dikarunia anak. Di usia empat tahun perkawinan yang nyenyat, siapa yang tak sedih tatkala lahir bayi yang ditunggu-tunggu, ternyata justru menghembuskan nafas tatkala ibu mengejan kesakitan. Anak pertama meninggal, anak kedua ayah pun bernasib serupa. Lalu, kakakku lahir ketika harapan ayah untuk menimang putra itu terkabulkan. Jadinya, kakakku dimanja ayah sampai setengah mati.

Ayah merasa ia sebagai lelaki tulen dan berjanji akan memenuhi setiap permintaan kakakku. Keberkahan itu juga membuat aku lahir lalu disusul adikku. Jadi kami tiga bersaudara, semua laki-laki. Tapi aku nyaris tumbuh tanpa perhatian. Kasih ibu dan ayahku hampir sepenuhnya jatuh pada kakakku dan adikku. Kakakku menjadi lambang penyelamat keluarga karena setelah nyaris ayah tak dikaruniai anak dan adikku, karena ragil, juga selalu mendapat perhatian lebih. Aku terbengkalai, kalah. Apalagi kakakku jadi lambang kegagahan ayah dan adikku jadi lambang kasih sayang ibu.

Aku terjepit. Ayah selalu membela kakakku meskipun setiap kali bertengkar dengannya, aku yang benar. Jika bertengkar dengan adikku, ibu selalu berdiri di belakang ragil busuk itu. Aku? Jadi terbuang. Selalu kalah. Tidak ada pelindung, membuatku tidak betah hidup di rumah. Karenanya, saat aku beranjak remaja, aku menghabiskan malam di luar rumah. Aku pulang untuk makan siang dan tidur.

Ayah gusar. Aku cuek karena aku menemukan kehidupan yang membahagiakan di luar rumah meski penuh bahaya. Tapi hidup di luar rumah telah mendewasakanku sebagai lelaki yang tak gampang menangis. Dan, aku jarang diberi uang jajan oleh ayah, kecuali dengan cara yang menurutku tidak adil.

Agar betah tinggal di rumah, ayah mengajariku ketrampilan menjahit pakaian. Aku lalu digaji dengan uang sepadan dengan pekerjaanku yang tak seberapa. Berbeda dengan kakak-adikku, mereka tinggal menengadahkan tangan, tiba-tiba segalanya terpenuhi.

Lalu kakakku lulus SMU. Ayah melihatku bak anak durhaka. Sampai aku kemudian lulus dari SMU. Tak juga mendapat simpati ayah. Jadi, aku benci ayah setengah mati karena aku tidak mendapat perhatian. Tapi tiba-tiba semua berubah. Saat teman-teman mulai kerja dan menikah, aku melanjutkan kuliah, setelah menganggur satu tahun.

Lambat laun, menjalar rasa simpati ibu kepadaku. Apalagi, aku bisa kerja sambil kuliah di tahun kedua. Juga saat aku mendapat pekerjaan layak setelah lulus kuliah sementara kakakku dan adikku --yang juga lulusan sarjana-- masih nganggur di rumah, menjadi beban keluarga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement