Ahad 22 Jan 2017 15:33 WIB

Ayah

Ayah dan anak. Ilustrasi
Foto:

Aku ingat, masa itu, aku juga pernah menjadi Ranu hari ini. Berdiri di depan kelas dan disuruh bercerita mengenai sosok ayah. Kala itu, teman-temanku dengan riang gembira menceritakan ayah mereka. Ayah mereka baik. Ayah mereka selalu membelikan mainan. Ayah mereka selalu menggendong mereka. Ayah mereka selalu mengajari mereka naik sepeda.

Lalu, tiba giliranku, aku hanya berdiri saja. Diam mematung. Tak ada sesuatu pun yang aku ceritakan. Aku binggung. Aku tidak tahu apa yang harus aku ceritakan.

Teman-teman cekikikan melihatku mematung. Bu Harsi, berkali-kali mengerakkan tangannnya, kode agar aku segera bercerita. Namun, hingga bermenit-menit lamanya, aku tetap tidak bersuara.

Akhirnya Bu Hesti, guru kelasku, kalah. Beliau menyuruhku untuk kembali duduk tanpa bercerita.

Sesampainya di rumah, seperti halnya Ranu, aku juga bercerita tentang yang terjadi di dalam kelas hari itu, pada ibu. Tapi bukan ceritaku yang kusampaikan kepada ibu, melainkan cerita teman-temanku. Waktu itu aku melihat berkali-kali Ibu mengusap mata dan hidungnya. Di akhir ceritaku, aku bertanya, Ibu, apakah aku punya ayah?, lalu ibu segera memelukku.

Berhari-hari setelahnya, aku terus bertanya pada ibu, apakah aku punya ayah. Tapi, ibu tak pernah menjawabnya. Saat itu aku memang tak pernah melihat atau bertemu dengan seseorang yang bisa aku panggil ayah. Setahuku, aku hanya punya kakek, nenek, Pakde Bowo, Budhe dan Mas Anung. Iya, hanya itu, tidak ada ayah di antara mereka.

Ibu baru memberitahu aku, tentang ayah, saat aku naik ke kelas dua SD. Sore itu, di musim hujan, dengan sepiring singkong goreng dan segelas besar teh manis, aku duduk berdua-dan memang seperti itu selalunya, hanya kami berdua- dengan ibu di teras rumah. Sesekali tempias hujan mengenai mukaku.

"Nur, ayah sekarang sudah tidak ada bersama kita. Ayah sekarang ada di satu tempat yang jauh. Kita tidak bisa menemuinya sekarang. Saat ini ayah berada di satu tempat yang indah sekali, Nak, penuh dengan bunga-bunga."

Suara ibu ditimpali hujan yang jatuh di daun-daun jambu air. Pohon jambu yang nantinya akan menjadi tempatku menghabiskan waktu.

"Kenapa kita tidak menyusul ayah, Bu? Janur ingin punya ayah, seperti teman-teman." Aku sama sekali tidak melirik singkong goreng yang masih panas, pandanganku menembus rintik-rintik air yang semakin lama semakin pekat.

"Tidak bisa, Nak, nanti, kalau Nur sudah besar akan tahu di mana rumah ayah sekarang. Kalau Nur ingin main sama ayah, di situ, telunjuk ibu mengarah ke rindang pohon jambu air. Ayah Nur akan sering datang kesitu, menemui Nur."

Setelah sore yang hujan itu, aku tak lagi pernah bertanya pada ibu mengenai ayah. Bahkan, ketika aku hanya bermain dengan ulat bulu dan semut merah di bawah pohon jambu, karena ayah tidak pernah benar-benar datang dan menemuiku di tempat itu.

Walaupun tidak seperti yang ibu katakan saat sore gerimis hari itu-tentang ayah yang akan datang ke bawah pohon jambu air, aku selalu bermain di tempat itu, setiap hari, setiap sore sepulang dari sekolah, ajakan bermain dari teman-teman sudah tidak menarik lagi bagiku.

Bahkan, aku menangis meraung-raung ketika ada tiga orang petugas PLN memangkas sebagian pucuk pohon jambu di depan rumah. Memang, pohon jambu kami sudah terlalu tinggi, sehingga pucuk-pucuknya mengenai kabel yang tepat membentang di atasnya.

Seterusnya, aku selalu mencari sosok ayah dengan diam-diam selain di bawah pohon jambu. Di jendela ruang guru , di pasar sayur ketika diajak ibu belanja pada Ahad, di rumah Pak RT saat ikut ibu pengajian, di jalan depan rumah saat bapak-bapak kompleks tengah kerja bakti membersihkan selokan. Hasilnya nihil, tak pernah kutemukan ayah di tempat-tempat itu.

Aku ingat betul, pernah beberapa kali aku benar-benar menangis, membutuhkan kehadiran ayah. Seperti ketika aku kelas lima SD, saat acara perpisahan kepala sekolah dan seluruh wali murid diundang. Teman-temanku, semua datang bersama ayahnya, sedangkan aku? Tidak ada wali murid yang datang mewakiliku. Ibu lebih memilih masuk kerja, karena kalau tidak perusahaan akan memotong uang gajinya, dan bisa-bisa ibu kehilangan jatah uang belanja tiga hari.

Di deretan kursi paling belakang, kusembunyikan mukaku di atas meja. Air mataku tumpah, ketika kupaksakan melirik ke arah teman-temanku, yang manja bergelendot di bahu-bahu besar ayah mereka. Di akhir acara, Pak Rusdi, guru kelasku, memelukku erat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement