Sabtu 21 Jan 2017 12:10 WIB

Tabungan Orang Kecil

ilustrasi cerpen

"Ada apa, Mas? Sepertinya kau sangat bersedih!" Marni yang kembali muncul di kamar melihat Sam yang sedang mematung di depan kalender.

"Tidak ada apa-apa, Marni," Kilah Sam pendek.

"Tadi Mas memegangi si macan, sekarang memandingi kalender dan tampak sangat bersedih. Ada masalah? Atau sampeyan punya utang yang harus dilunasi?" Marni terus mendesak.

"Ya, aku punya utang!" Sam kembali duduk di tepi dipan disusul Marni duduk di sampingnya.

"Utang kepada siapa, Mas? utang untuk apa?" Marni cemas karena selama ini Sam tak pernah berhutang tanpa sepengetahuannya.

"Kepada orang tuaku."

"Kapan berutang kepada mereka, Mas? Mengapa selama ini tak pernah mengatakannya?" Marni berbalik dan berusaha memandangi wajah keruh suaminya.

"Aku tidak berutang uang atau materi apa pun kepada mereka. Aku tak pernah bisa menjenguk mereka bahkan tak pernah berhasil mengenalkan kalian, anak dan istri yang telah kumiliki lebih dari sepuluh tahun. Maafkan aku, Marni!" Sam menggamit pundak Marni lalu memeluknya erat.

Tanpa disadari ada tetesan air jatuh di pundak Marni. Merasakan tetesan hangat di pundaknya, Marni pun tak kuasa membendung air mata.

"Mas, jika sampeyan mau pulang untuk menjenguk orang tua, pulanglah. Mumpung mereka masih hidup. Aku dan anak-anak tak usah diajak dulu. Insya Allah, suatu waktu Tuhan memberi rezeki jika menghendaki kami bertemu dengan kedua orang tuamu."

"Tidak, Marni! Jika aku pulang harus membawa serta kalian. Kita sekeluarga, Marni."

"Tapi, untuk sekarang tidak mungkin, Mas! Uang kita tidak mencukupi untuk membiayai perjalanan pergi dan pulang. Kalau Mas Sam saja, Insya Allah cukup." Marni berusaha menenangkan Sam yang masih menunduk.

"Aku tahu, Mas. Sampeyan terpengaruh orang-orang yang ingin mudik pada lebaran nanti. Orang-orang yang Lebaran lalu tak bisa mudik, ingin mudik pada Idul Adha besok untuk berkumpul dengan keluarga besarnya dan berkurban di kampung. Tapi, tidak semua orang dapat mewujudkan keinginannya itu, termasuk kita. Mas harus yakin juga bukan hanya kita yang tak punya kesempatan itu. Kita tak dapat berbuat banyak. Kita hanya orang kecil yang hanya mampu mencari sesuap nasi."

Sam terdiam, ia membenarkan apa yang dikatakan Marni. Ia hanya segelintir orang yang tak punya daya untuk banyak berbuat. Dunianya hanya panas matahari dan cucuran keringat.

"Meskipun aku harus pulang sendiri, tetap aku tak punya uang. Kalian di sini kan juga harus makan," kata Sam dengan suara tersekat di kerongkongan.

"Insya Allah, ada, Mas. Aku punya si macan yang lain."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement