Kamis 13 Feb 2014 15:23 WIB

Sajak Alit

Hawe Setiawan
Foto: Dok/Republika
Hawe Setiawan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hawé Setiawan

Penyair Bandung Abdullah Mustappa, yang menggubah puisi dalam bahasa Sunda, menyebut karyanya “sajak alit”. Alit adalah kata Sunda untuk “kecil”. 

Sebagian besar puisinya yang terhimpun dalam Titimangsa (2013), koleksi yang mendapat Hadiah Sastra Rancage tahun ini, sungguh ringkas. Hanya ada satu yang terdiri atas 18 baris, berupa permainan repetisi dalam 5 bait. Selebihnya adalah puisi-puisi yang tidak lebih dari lima baris, bahkan ada yang terdiri atas satu baris saja.

Tiada satu pun puisi dalam koleksi ini yang berjudul. Tiap-tiap puisi itu dikasih nomor, berurutan dari muka ke belakang. Semuanya berjumlah 68 butir. Timbul gambaran tentang sebuah untaian, manik-manik puisi yang diikat bersama oleh judul koleksi.

Judul koleksi itu adalah kata Sunda untuk “masa” atau “waktu”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pun ada titimangsa dengan kandungan arti yang sama. Tahun 2013, titimangsa terbitnya koleksi ini, Abdullah genap berusia 68 tahun. Boleh jadi, jumlah butiran puisi dalam koleksi ini terpaut pada perjalanan waktu dalam hidup penyairnya.

Abdullah mendedikasikan koleksi puisinya kepada Aam Amilia, istrinya juga pengarang Sunda terkemuka. Namun, saya sendiri sering lupa akan pacar sang penyair ketika menemukan sejumlah idiom salira (engkau) dalam buku ini. Saya membayangkan hadirnya sosok yang intim dan disapa dengan rasa hormat. Mungkin seperti Tuhan. Siapa bilang bukan?

Jika pembaca sudi memaafkan terjemahan saya, baik kita petik satu kuntum di antaranya:

waktu salira neuteup bulan

seuneu na dada ngabela-bela

(waktu engkau menatap bulan

api di dada menyala-nyala)

Ada sejumlah idiom dan metafor yang dipungut penyair dari bahasa ibunya. Tentu, tidak dipungut begitu saja. Idiom dan metafor itu diolah lagi, dirakit kembali, dikasih sapuan warna tersendiri. Selebihnya adalah tutur kata temuan Abdullah sendiri dari bahasa sehari-hari: kata-kata yang terdengar perlahan, hampir-hampir seperti bisikan, dengan irama yang terjaga. Seakan-akan, kata-kata itu terbit dari tempat bertapa.

Apa yang direnungi penyair, sesungguhnya? Saya melihat semacam refleksi diri, upaya penyair meninjau perjalanan hidupnya sendiri. Nomor-nomor puisi itu seperti tonggak-tonggak perjalanan.

Semuanya bermula dari timbulnya kata, yang lantas terangkai jadi kalimat. Dari situ timbullah avontur, serangkaian pertemuan, sejumlah kebimbangan, sekian harapan. Sang penyair merasa sedang mencari sesuatu tapi tak kunjung tahu apa itu—atau tak sanggup mengatakannya. Ia merasa ingin mendekati diri yang intim itu, tapi juga mengakui keterbatasan dirinya.

Jika dibaca menyeluruh, untaian puisi ini mungkin juga terlihat seperti secarik surat dengan kalimat-kalimat singkat. Alamatnya: itu dia, sang salira, yang membuat sang penyair sepertinya merasa rapuh atau hina dina.

Puisi ke-68 adalah semacam perhentian sementara, serupa koma di ujung kalimat. “Surat panjang” itu, katanya, belum sempat dibubuhi tanda tangan.

Syukurlah. Abdullah sepertinya bakal melanjutkan perjalanannya. Lagi pula, seperti kata seorang penyair dusun: “and miles to go before I sleep”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement