Selasa 27 Mar 2018 07:26 WIB

Retorika Hamka dan 'Asbun' Pejabat

“Kalau belajar Islam itu ke Mekah, bukan Jawa!”

Lukisan HOS Tjokroaminoto.
Foto: Blog
Lukisan HOS Tjokroaminoto.

Oleh Yusuf Maulana*

Bagi Hamka, sang ayah—yakni Haji Abdul Karim Amrullah—merupakan peletak dasar pertama ia mengenal Islam. Namun dalam soal membukakan pikirannya tentang ajaran ataupun kekuatan Islam, Hamka menyebut nama Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Nama yang disebut belakangan ini dikenal Hamka pada umur 16 tahun. Ketika itu, Hamka remaja sengaja ingin bertandang menimba ilmu ke Jawa, tepatnya Yogyakarta. 

Niat sang anak ditentang sang ayah. “Kalau belajar Islam itu ke Mekah, bukan Jawa!” Begitu alasan Haji Rasul, sebutan lain ayah Hamka. Tapi sang anak bergeming. Syukurnya, sang ayah mengecualikan bila lawatan Hamka ke Jawa untuk belajar kepada iparnya yang juga murid Haji Rasul: AR Sutan Mansur, di Pekalongan. 

Di Pakualaman, Yogyakarta, Hamka remaja bersua kali pertama dengan Tjokroaminoto; sosok yang hanya didengarnya di kampung halamannya. Ayahnya pun sebenarnya mengenal dan sempat bertemu dengan tokoh utama Sjarikat Islam (SI) ini. Selama mengikuti kursus-kursus SI, kekaguman Hamka pada Tjokroaminoto tak terelakkan. Kekaguman manusiawi sosok remaja yang menemukan idola dan anutan di kalangan Muslimin di Jawa, khususnya. Karisma dan kapasitas Tjokroaminoto sebagai penggerak umat masa itu, tidak ada yang meragukan.

Di kelas, Hamka mengasah diri bukan pada kekaguman nama besar sang guru. Bila Tjokroaminoto mengajarinya Islam dan Sosialisme, bersama para guru lain lain belajar membuka minda pergerakan Islam yang tengah hangat-hangatnya di Yogyakarta. Masih di kursus bagi anggota SI, Hamka memperoleh materi Sosiologi Agama dari Raden Mas Soerjopranoto, sementara pengokohan tauhid disampaikan oleh pemuka Muhammadiyah, Haji Fakhruddin. Ketiga gurunya ini membekas bagi Hamka, dengan tanpa dimungkiri yang terdepan adalah pengaruh Tjokroaminoto. 

Di luar materi yang diperolehnya di kursus SI, Hamka juga mencatatkan dalam Kenang-kenangan Hidup I (1951), kekagumannya pada metode penyampaian tafsir Quran oleh Ki Bagus Hadikusumo. Semasa di kampung halamannya, ia belajar tafsir terpandang di dunia Islam masa itu, Al-Manar, karya Muhammad Abduh. Sayangnya, penyampaian oleh sang pengajar lebih menitiktekankan pada membaca tafsir; bukan mengerti pesan ayat yang ditafsirkan Abduh. Alih-alih mendalami kandungan ayat, Hamka diajarkan untuk benar dalam membaca secara nahwu; satu metode yang bisa saja Abduh sendiri tidak menghendaki demikian.  

Setahun di Jawa, balik ke kampung halamannya, Hamka mendapat banyak ilmu. Kecakapannya menyampaikan Islam bertambah, baik isi maupun cara penyampaiannya. Gagasannya banyak diwarnai perjuangan SI dan Muhammadiyah yang bertempur menghadapi bukan hanya kolonialisme Belanda melainkan juga komunis dan misi zending. Dari tempaan langsung maupun tak langsung dengan Tjokroaminoto, Hamka memetik pelajaran menghadapi komunis. Penguasaan inilah yang tidak begitu memadai dimiliki Haji Rasul ketika menghadapi anak-anak didiknya di Padang Panjang yang beralih gandrung pada komunis bahkan hingga meletuskan pemberontakan pada 1926. 

 Sebagaimana kelak Sukarno, murid lain Tjokroaminoto, belajar retorika dan menguasai massa di atas mimbar, demikian pula Hamka. Tidak semata di kelas, ia juga ikuti mimbar demi mimbar tatkala tokoh SI berpidato menggerakkan massa. Semasa tinggal bersama iparnya di Pekalongan, Hamka tak sekadar menghadiri isi pidato gurunya tapi juga merapat dan berbincang-bincang. 

Di kampung halamannya, Hamka tak ragu membagikan kemampuan retorikanya kepada teman-teman sebaya atau yang berbeda umur. Kalau itu, “dia sudah pandai berpidato dalam pertemuan-pertemuan ramai, dengan tidak merasa gentar, dan pidatonya mulai berisi”, begitu Hamka menuliskan dirinya dalam Kenang-kenangan Hidup I. Pidato-pidatonya bukan soal serangan pada ritual ibadah kalangan tradisional, sebagaimana sering disampaikan Haji Rasul. Hamka banyak mengulas soal politik, serupa dengan pidato anak-anak didik ayahnya yang komunis. Akan tetapi, Hamka bukan sedang mempropagandakan komunis. 

Bahkan ia menjadi paham setelah di Jawa, betapa kegandrungan banyak anak didik ayahnya itu sebenarnya “tanggung”. Mereka hanya diperalat komunis ihwal kesesuaiannya dengan Islam. Pemikiran tersebut sebenarnya hasil menyontek pemikiran Tjokroaminoto, hanya saja tokoh SI ini tidak melarikannya ke komunis tapi pada tauhid. Propagandis kalangan merah di Minangkabau hanya mengenal kulit saja bahwa sesiapa yang melawan kafir Belanda itu wajib didukung, tak terkecuali komunis. Komunis disangkanya bentuk gerakan Islam. Inilah yang dimanfaatkan Haji Dt Batuah, pentolan komunis awal di Minang, yang pernah berguru pada ayahanda Hamka.

Pada usia 17 tahun, Hamka menambah terus jam terbangnya sebagai juru siar Islam dan anti-komunis. Ia menjadi pengawal sang ayah ketika berkeliling dari kampung ke kampung. Ia pula yang membukukan pidato teman-temannya di surau Padang Panjang, yang berarti muridnya dalam pelajaran ini. Kumpulan pidato tercetak ini dinamainya Khathib ul-Ummah. Inilah karya pertama Hamka dalam tulis-menulis, mengingat pula seluruh pidato teman-temannya itu sebenarnya dialah yang membuatkannya!

Tampil berbeda dengan kekhasan yang menarik audiens, rupanya memunculkan rasa iri hati pada sebagian temannya. Pintu masuk untuk menguliti Hamka itu ada. Hamka, kala itu, memang kerap mengucapkan secara salah tata bahasa Arab. Diakui sendiri oleh Hamka, “kalau membaca tidak kena nahwu dan sharaf-nya. Yang patut baris di depan terbaca olehnya di atas, yang fa’il terbaca mansub, yang maf’ul terbaca marfu’.” Uniknya, dalam soal menerjemahkan, Hamka malah lebih unggul dibandingkan para pencemoohnya. Pasalnya, teman-temannya itu hari ke hari banyak berkutat dengan kitab nahwu dan sharaf, sementara Hamka memilih membaca kita-kitab Arab dan Indonesia.

Haji Rasul menyadari kemampuan anaknya. Hanya saja, ia tak ingin Hamka besar kepala, berpuas diri. “Pidato-pidato, lezing-lezing saja percuma. Isi dada dahulu dengan pengetahuan, baru ada artinya pidato itu.” Dengan kata lain, sang ayah ingin Hamka tak hanya jagoan bersilat lidah dan berteriak-teriak pintar memukau massa, namun sejatinya isi pembicaraan di podium itu kosong atau hambar dari nilai agama. 

Hampir sedekade kemudian, tepatnya pada 1934, Haji Rasul perjelas kembali hal apa yang mesti dimiliki sang anak. Saat itu, nama Hamka sudah dikenal luas sebagai mubaligh Muhammadiyah. Dalam buku biografi Haji Rasul, Ayahku, Hamka menuliskan apresiasi sang ayah pada kemampuan filsafat dan sejarah dirinya. Hanya saja, Haji Rasul mengingatkan Hamka untuk tidak tergelincir pada filsafat. Untuk itu, Haji Rasul mendorong Hamka untuk belajar ushul fiqih dan mantiq; dua ilmu yang tidak bisa dipelajari seorang diri oleh putranya yang memang haus ilmu dan bertipe otodidak. Sebenarnya pada umur 26 tahun inilah, bahkan telah beranak pinak, Hamka belajar langsung pada ayahanda tercinta tanpa paksaan sebagaimana masa kecilnya.       

Begitulah jalan retorika Hamka muda ditempa hingga kelak banyak orang mengagumi isi dan caranya meneroka satu persoalan yang mendera jiwa. Dalam karyanya yang bernuansa tawawuf, Pribadi, Hamka mengulas soal retorika/pidato dengan lidah. Setelah menyebut nama Tjokroaminoto, ia mengulas, “Bijak berkata-lata berarti dengan tiga perkara; perasaan yang halus, kefasihan berkata dan kekayaan bahasa. Lidah yang gagap dan gugup, tidak akan dapat menghasilkan apa-apa.”

“Akal adalah pandu jiwa, ilmu adalah pandu akal, dan lidah yang fasih adalah pandu ilmu,” ungkap Hamka lebih lanjut.  Di sini Hamka seperti menandaskan, dalam ungkapan filosofis lagi puitis, pesan sang ayah soal pidato yang berbobot itu memperhatikan apa yang disampaikan.

Arkian, pembicaraan berbobot akan membekas di hati bilamana keluar dari lidah yang berisikan ilmu dan jiwa yang lurus. Terlebih lagi dari hati-hati yang terpanggil membela kebenaran. Alhasil, sesiapa yang mengungkap kebenaran perlu becermin dalam pasal ini. Agar tak ada tudingan asbun, asal bunyi; atau sebaliknya, mudah mematahkan dengan mudah para penudingnya yang malah asbun. 

Juga ketika ada lontaran kehati-hatian tidak gegabah menanggapi, malah mestinya dibalas argumentasi kuat dan pembicaraan yang membekas di hati. Lontaran lahan di negeri ini yang hilang hingga kecemasan bangkrutnya negeri ini pada 2030 lantaran mental pejabatnya penjual aset rakyat, sebenarnya hanya perlu disikapi dengan kematangan berlogika dan data. Tidak dengan marah-marah apalagi menuding asbun. Ia justru semacam peringatan agar mawas diri, terutama bagi pejabat. Kalaupun fitnah dan perbincangan sesuatu itu dusta belaka, toh akan kembali pada pelontar retorikanya. n 

*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement