Penerbitan Perppu Ormas Dinilai Tergesa-gesa

Kamis , 13 Jul 2017, 18:08 WIB
M. Ali Taher Parasong
Foto: Republika/Darmawan
M. Ali Taher Parasong

REPUBLIKA.CO.ID, \RJAKARTA -- Langkah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dinilai terlalu tergesa-gesa.

Perppu tersebut merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang juga mengatur soal ormas.

"Bagi saya, pemerintah mungkin agak terlalu tergesa-gesa. UUD NRI 1945 mengatakan perppu itu lahir kalau negara dalam keadaan darurat, kriteria darurat itu sampai sekarang apa," ujar Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher Parasong di Gedung DPR RI, Kamis (13/7).

Karena itu, dia meminta jangan sampai kriteria darurat itu menjadi semaunya pemerintah. Ali menyebut semua orang bebas berpendapat dan berkumpul di alam demokrasi. Tentunya dengan mematuhi koridor-koridor tertentu. Menurut Ali, pemerintah perlu hati-hati dalam merespons dinamika masyarakat.

Dia mengatakan perppu ormas masih harus disahkan secara hukum. Perppu ini memang otomatis berlaku sebagai satu pesan konstitusi, tetapi kata dia, DPR juga harus memberikan persetujuan. Lembaga legislatif berhak menolak atau menyetujui penerbitan perppu ini yang rencananya akan dibahas pada masa sidang berikutnya.

Politikus senior Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengatakan setiap ormas pasti terlahir dan eksis berlandaskan undang-undang keormasan. Keberadaan ormas diatur oleh undang-undang. Karena itu, setiap permasalahan yang menyangkut ormas mestinya juga diselesaikan sesuai undang-undang.

Ali khawatir perppu ini justru akan menjadi alat untuk menekan peran-peran demokrasi di tengah masyarakat. Peran demokrasi di tengah masyarakat dianggap sebagai bentuk terorisme dan radikalisme. Bahkan, kerohanian Islam (rohis) dinilai melahirkan bibit-bibit radikalisme.

Dia berpendapat, pemerintah melahirkan perppu itu karena merasa mendesak untuk pencegahan dini terkait dengan faktor radikalisme. "Tetapi apakah sudah sejauh itu keadaan darurat negara atau karena belum arifnya pemerintah memberlakukan setiap rakyat dengan penuh keteladanan dan kearifan," kata Ali.

Problem radikalisme, kata dia, lahir akibat adanya ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, kemiskinan, serta pendidikan yang belum merata antara daerah dan pusat. Akibatnya, muncul berbagai gejolak sosial. Menurut Ali, pemerintah mestinya merespons fenomena ini dengan cara mempercepat program kerakyatan di daerah-daerah. "Bukan sebaliknya, meniadakan peran-peran demokrasi," ujarnya.