Fadli Zon: Jangan Kaitkan Aksi Terorisme dengan Revisi UU

Rabu , 05 Jul 2017, 16:16 WIB
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyta Fadli Zon
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyta Fadli Zon

REPUBLIKA.CO.ID, Maraknya aksi teror belakangan ini telah membuat sejumlah pihak mendesak agar pembahasan revisi Undang-Undang No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) dapat segera diselesaikan. Pengesahan segera revisi UU tersebut dianggap bisa membuat penanganan atas aksi teror bisa makin efektif. 

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Bidang Korpolkam Fadli Zon menyatakan bahwa DPR, melalui Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU Antiterorisme, bersikap hati-hati dalam membahas draf revisi yang inisiatifnya diajukan pemerintah tersebut.

Ada banyak persoalan menurutnya dalam draf revisi yang diajukan pemerintah, sehingga DPR memilih berhati-hati dalam pembahasannya. Misalnya, ada usulan perpanjangan masa penahanan dari enam bulan menjadi 510 hari. Ini tak bisa diloloskan begitu saja, sebab proses penegakkan hukum atas tindak terorisme juga tak boleh mengabaikan hukum lainnya yang masih berlaku.

"Jangan sampai penegakkan hukum dilakukan dengan cara melanggar hukum, itu prinsip yang ingin kita jaga. Kita tak berharap  tindakan hukum sejenis Petrus di masa lalu kini bisa terulang kembali dalam bentuk lain,” ujarnya melalui siaran persnya.

DPR menurut Fadli, ingin agar filosofi penanganan tindak terorisme tak berangkat dari prinsip pemberantasan teroris, sebagaimana yang sejauh ini menonjol terlihat, tapi lebih memperhatikan berbagai aspek secara komprehensif. "Info yg saya terima dari Ketua Pansus, saat ini pembahasannya sudah cukup maju kok, sudah lebih dari 60 persen dari total 112 DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang dibahas di Pansus," katanya.

Fadli mengatakan fakta bahwa tindak terorisme dianggap sebagai extraordinary crime, jangan sampai membuat jadi seperti memberikan cek kosong pada aparat penegak hukum. Menurutnya kita harus belajar dari kesalahan dalam menangani extraordinary crime lainnya, seperti tindak pidana korupsi, misalnya. Lembaga atau aparat yang menangani extraordinary crime harus tetap bisa dikontrol dan diawasi.

“DPR sangat concern terhadap isu bahwa penanganan tindak terorisme harus memperhatikan dan tetap berada di dalam koridor hukum, tak boleh terus-menerus menggunakan diskresi. Kita harus taat pada due process of law, itu yang ingin dijaga,” ujarnya.

Itu sebabnya, menurut Fadli, meski ada desakan dari sejumlah pihak agar Revisi UU Antiterorisme segera disahkan, DPR tak bisa begitu saja mengikuti desakan tersebut. Kalau pembahasannya tergesa-gesa, risikonya bisa banyak sekali nantinya.

Apalagi, menurutnya, secara teknis dalam revisi UU Antiterorisme ini kian banyak pihak yang harus disinergikan, mulai dari Polri, BNPT, BIN, TNI dan juga masyarakat sipil. Bagaimana bentuk sinerginya, itu yang sedang diatur. "Yang jelas, jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang oleh negara atau aparat dengan menggunakan dalih terorisme,” kata Fadli.

Masukan yang diterima DPR sangat banyak. Sebagai gambaran, untuk definisi terorisme saja, ada 172 rancangan yang masuk usulan pembahasan. Untuk memformulasikan hal ini, tentu membutuhkan perumusan yang matang. Jadi, menurutnya, tak ada kaitan belum selesainya pembahasan revisi UU Antiterorisme dengan aksi teror yang marak belakangan ini. Apalagi, dengan undang-undang yang masih berlaku aparat sebenarnya juga sudah bisa bekerja. Pembahasan yang sedang berlangsung di parlemen saat ini konteksnya hanya merevisi saja, sehingga bukan merupakan faktor penghambat bagi aparat penegak hukum dalam menangani aksi teror.