Pemerintah Diminta Jangan Persulit Pembuatan Paspor

Ahad , 19 Mar 2017, 22:28 WIB
Paspor
Foto: depok.imigrasi.co.id
Paspor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Achmad Dimyati Natakusumah, menegaskan dirinya tidak setuju dengan kebijakan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM terkait kebijakan permohonan pembuatan paspor baru. Salah satu poin kebijakan ini adalah pemohon harus memiliki tabungan atas nama pemohon dengan jumlah minimal sebesar Rp 25 juta.

Menurut Dimyati kebijakan tersebut sangat memberatkan rakyat Indonesia yang ingin memiliki paspor, terutama bagi mereka yang hendak jalan-jalan ke luar negeri.  Dimyati beralasan, karena tidak semua orang yang melakukan kegiatan traveling ke luar negeri adalah yang memiliki banyak uang. Selain itu, bagi Dimyati memiliki tanda pengenal  berbentuk paspor adalah hak warga negara, seperti hal tanda identitas lainnya, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Maka dengan demikian, pemerintah dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM tidak  boleh memperuslit rakyat Indonesia. 

"Kebijakan ini harus segera dikaji lagi. Jangan anggap rakyat Indonesianya semuanya berduit, uang Rp 25 juta itu jumlah yang tidak sedikit," ungkap Dimyati, saat dihubungi melalui seluler, Ahad (19/3).

Bahkan Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menyatakan, justru seharusnya pembuatan paspor tidak dipungut biaya atau gratis, sepertihal KTP Elektronik. Karena bagaimanapun juga fungsi paspor sama dengan KTP yaitu tanda identitas diri, hanya saja paspor sebagai pengganti KTP ketika berada di luar negeri. Selain itu dia juga menilai, syarat harus memiliki deposito Rp 25 juta untuk membuat paspor adalah mempersulit birokrasi, dan pastinya bertentangan dengan semangat debirokratisasi dan semangat good governance.

Meski demikian, Dimyati mengakui kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara illegal, dan juga Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Namun kata Dimyati, tetap saja kebijakan itu tidak relevan, karena lebih banyak merugikan orang. Dimyati menyarankan seharusnya pemerintah lebih memperketat pengawasan terhadap calon-calon TKI dan juga pintu keluar Indoneisa. "Apa jangan-jangan ini kerjasama dengan perbankan," kata Dimyati.