Prostitusi Online Jadi Cermin Buruknya Perlindungan Anak

Kamis , 16 Mar 2017, 00:47 WIB
Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher.
Foto: dpr
Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher mengatakan kejahatan prostitusi anak dibawah umur sudah pada tingkat kejahatan luar biasa dan mengkhawatirkan. Prostitusi anak dibawah umur ini makin marak bahkan sudah menggunakan teknologi informasi facebook, twitter, atau media sosial lainnya. Menurut dia, ini merupakan cermin buruknya perlindungan anak di tanah air.

 

“Luar biasa biadabnya, luar biasa jahatnya, luar biasa buruknya bagi perlindungan anak di tanah air kita ini. Kasihan saya begitu mendengar ini, tidak kuat lagi saya,” katanya, Rabu (15/3).

Menurut Ali Taher, hal ini disebabkan dampak negatif dari media sosial dan media telekomunikasi memang tidak bisa dihindarkan. Sebab, regulasi di Indonesia belum mampu untuk menekan laju informasi yang sangat terbuka.

Kak Seto: Prostitusi Anak di Media Online Termasuk Perdagangan Orang

 

Masyarakat yang dinilai sangat permisif (longgar) soal etika, dan dengan persoalan-persoalan kriminalitas yang dianggap hal biasa, sehingga tingkat pengawasan menjadi lemah. Rumah tangga yang rapuh, kontrol sosial yang kurang mampu memberikan warna dalam kehidupan sosial, hingga masyarakat sekarang sangat individu, materialis, komersialisme, dan sekuler, menjadikan ada kegamangan sosial. Ali mengatakan perlunya memperkuat regulasi untuk menekan tingkat kejahatan terhadap anak.

 

“Saya kira regulasi harus diperketat, mempertajam, memperkuat dan regulasi agar mampu menahan laju tingkat kriminalitas terhadap kejahatan termasuk kejahatan kepada anak. Regulasi itu saya kira harus memberikan hukuman pidana yang lebih,” katanya.

 

Ali Taher mengungkapkan sudah ada Undang-Undang nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Itu saja kalau diterapkan sudah dapat menjawab keresahan terhadap kejahatan terhadap anak, namun itu semua tergantung pada posisi hakim atau penegak hukumnya.

 

“Dengan adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 saja paling tidak bisa menjawab persoalan-persoalan kegamangan sosial tadi, misalnya ada hukuman mati, hukuman kebiri, hukuman maksimal, dan hukuman pengumuman identitas,” paparnya.

 

Di sisi lain, dia melihat meskipun regulasi undang-undang nomor 17 tahun 2016 yang merupakan suatu bagian dari Perpu Nomor 1 tahun 2016 ini sudah diundangkan, namun  peraturan pelaksananya masih lemah. “Yang masih lemah itu regulasi tingkat implementasi teknisnya. Ini yang perlu dilakukan oleh Kementerian terkait segera melakukan upaya-upaya supaya negara mengeluarkan peraturan pemerintah dan peraturan menteri serta teknisnya, supaya aparat hukum bisa mempunyai pegangan untuk bisa memberikan hukuman yang sangat maksimal kalau perlu hukuman mati bagi tingkat kejahatan yang sangat luar biasa ini,” kata dia.

 

Menanggapi hal ini, Komisi yang membidangi Agama dan perlindungan anak, akan memanggil Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Sosial, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kepolisian, dan Komnas Pelindungan Anak, guna meningkatkan perlindungan terhadap anak serta mencegah terjadi prostitusi on line anak dibawah umur.

 

Komisi VIII akan berkoordinasi dengan Kementerian PPPA Kementerian Sosial dan kepolisian supaya anak-anak korban kejahatan ada upaya rehabilitasi. Kemudian proteksinya perlindungan dan pengawasan terhadap anak perlu ditingkatkan. Dia menuturkan kejahatan seksual anak dibawah umur ini seperti gunung es yang sudah lama terjadi. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya menutup situs-situs porno, dan situs-situs lainnya yang diduga melibatkan para pihak dalam melakukan tindak kejahatan kriminal terhadap anak.

 

“Oleh karena itu menurut saya pemerintah dalam hal ini kepolisian maupun Kementerian Kominfo segera menutup situs-situs pornografi dan pornoaksi,” kata dia.