Rabu 07 Feb 2018 13:59 WIB

''Jadi Presiden di Negeri Demokrasi Harus Bertelinga Tebal''

Fahira meminta Pemerintah dan DPR memikirkan kembali pasal penghinaan presiden.

Rep: Ali Mansur/Amri Amrullah/ Red: Gita Amanda
Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Fahira Idris
Foto: DPD RI
Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Fahira Idris

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Fahira Idris meminta Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memikirkan kembali niat untuk menggolkan pasal penghinaan terhadap Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP). Menurutnya sudah menjadi konsekuensi seorang Presiden di sebuah negara demokrasi untuk berlapang dada, berbesar hati, dan menebalkan telinganya mendengar segala macam ekspresi rakyat terhadap kepemimpinannnya.

Walau sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2016, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah kembali memunculkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP. Pasal 263 ayat (1) draft RKUHP menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan penjara paling lama lima tahun.

Berbagai reaksi penolakan pun muncul atas dimasukkannya kembali pasal penghinaan presiden ini. Mulai dari dianggap berpotensi mencederai demokrasi, disalahgunakan sebagai alat represif, hingga disebut sebagai era pembungkaman jilid II setelah orde baru.

Menurut Fahira, menjadi Presiden di negara demokrasi seperti Indonesia berat karena telinganya harus tebal. Ini sudah jadi konsekuensi logis. Presiden di negara demokratis harus punya kelebihan di atas rata-rata rakyat biasa. "Salah satunya tahan banting terhadap segala macam kritik bahkan hujatan. Kalau tidak kuat, jadi rakyat biasa saja, jangan jadi Presiden," jelas Fahira dalam keterangan tertulisnya, Rabu (7/2).

Senator Jakarta ini mengungkapkan, jika pasal ini nanti benar-benar disahkan dalam RKHUP dapat dipastikan segala macam kritik keras terhadap Presiden bisa ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap kepala negara. Ini berbahaya bagi sebuah bangsa yang sedang menjadikan demokrasi sebagai jalan menuju tata kepemerintahan yang lebih baik.

Parameter penghinaan kepada Presiden, lanjut Fahira, akan sangat bias dan yang pastinya jika benar-benar pasal penghinaan ini disahkan parameternya akan mengikuti selera siapa saja yang menjadi penguasa di Indonesia. Jika ini terjadi, kriminalisasi akan membayangi siapa saja yang berani bersuara keras terhadap kinerja Presiden dan kabinetnya dan ini tentunya buruk bagi iklim demokrasi Indonesia.

Sepahit dan sekeras apapun kritik, selama ada kepentingan umum didalamnya harusnya dilindungi undang-undang. Namun, jika pasal penghinaan ini disahkan dalam RKHUP keadaannya bisa berubah. "Belum lagi efek psikologis karena rakyat pasti ketakutan berbicara kritis mengenai Presidennya," ujar Fahira.

Menurut Fahira, perangkat hukum saat ini salah satunya UU ITE dan KUHP terutama terkait fitnah dan pencemaran nama baik sudah cukup menjaga dan membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sehingga Presiden bisa menggunakan perangkat hukum yang sudah ada jika merasa dirinya difitnah atau dicemarkan nama baiknya.

"Kalau merasa difitnah atau dicemarkan nama baiknya, sudah ada perangkat hukumnya. Jadi jangan menambah perangkat hukum baru lagi yang sebenarnya tidak ada urgensinya," pungkas Fahira.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement