Selasa 21 Nov 2017 15:47 WIB

Tingginya Pertumbuhan Penduduk Timbulkan Masalah Pangan

Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Parlindungan Purba dalam rangka Pengawasan Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan di Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).
Foto: DPD RI
Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Parlindungan Purba dalam rangka Pengawasan Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan di Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Tingginya pertambahan jumlah penduduk Indonesia menjadi masalah bagi penyedian pangan di Tanah Air. Otomatis hal itu membuat perubahan pola dan tingkat penyediaan serta konsumsi pangan, termasuk akses pangan.

“Dengan tingginya pertambahan jumlah penduduk ini. Tentunya membutuhkan strategi dalam mengatasi persoalan pangan,” ucap Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Parlindungan Purba dalam rangka Pengawasan Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan di Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Selasa (20/11), melalui siaran persnya.
 
Parlindungan juga menilai selama ini Indonesia mengandalkan impor pangan dari luar. Memang, impor beras itu diperbolehkan di mana cadangan nasional tidak mencukupi. “Tapi sampai kapan kita harus impor,” ujar dia.
 
Menurutnya ada beberapa persoalan pangan di Indonesia. Pertama, tentang konsep kedaulatan pangan dan ketahanan yang seolah digabung dalam UU Pangan. Padahal keduanya memiliki konsep yang berbeda. 
 
“Masalahnya, konsep ketahanan pangan tidak mempersoalkan dari mana pangan tersebut dihasilkan atau dengan cara apa pangan tersebut dihasilkan,” tukas senator asal Sumatera Barat itu.
 
Persoalan Kedua, lanjutnya, masih karut-marutnya data pangan yang tersedia di Indonesia. Pada tahun 2016 lalu, terdapat perbedaan data konsumsi beras antara Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS).
 
“Pemerintah menyatakan angka konsumsi 139,15 kilogram (kg) per kapita per tahun, sedangkan prognosa BKP 124,89 kg per kapita per tahun. Hal ini menyebabkan kebijakan antarkementerian tidak terkordinasi dengan baik,” tutur Parlindungan.
 
Sementara itu, Kepala Dinas Pangan Provinsi Efendi menjelaskan untuk  jumlah produksi bawang merah di Sumbar terbesar se-Sumatera. Namun harga bawang merah sering bergejolak. “Ternyata empat bulan lalu mengalami penurunan harga yang drastis. Sehingga petani bawang mengalami keresahan,” tegasnya.
 
Efendi menambahkan di Sumbar juga kebanjiran bawang merah dan cabai dari Jawa Tengah. Pasalnya, harga bawang dan cabai lebih murah dibandingkan dari Sumbar. “Akibatnya petani kita mengalami kerugian,” tutur dia.
 
Dikesempatan yang sama, Senator asal Sumbar Emma Yohanna mengusulkan Badan Urusan Logistik (Bulog) menyiapkan dua storage atau control atmosphere storage (CAS). Hal itu tentunya untuk mengatasi banjirnya bawang dan cabai Sumbar. “Storage ini bisa membantu untuk tiga bulan kedepan. Disaat cadangan di Sumbar. Cadangan ini bisa dikeluarkan,” paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement